TT-03


kembali | lanjut

TT-03“SELAMAT malam Ki Sanak” Orang itu memberi salam, “Ki Sanak mencari siapa?”

“Kami ingin menghadap Ki Tumenggung Reksaniti”

“Ki Tumenggung Reksaniti?” ulang orang itu.

“Ya, Ki Sanak”

“Apa keperluan Ki Sanak?”

“Ki Tumenggung memanggil kami untuk menghadap”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Baiklah, silahkan duduk diserambi gandok. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Tumenggung”

“Terima kasih” sahut Kiai Margawasana.

“Siapakah nama Ki Sanak?”

“Namaku Margawasana”

“Ki Tumenggung kenal akan nama itu?”

“Ya. Ki Tumenggung akan mengenal nama itu”

Orang itu  pun kemudian meninggalkan Kiai Margawasana dan Wikan berdiri termangu-mangu.

Namun Kiai Margawasana itu  pun kemudian mengajak Wikan untuk duduk disebuah lincak bambu di serambi gandok.

Sejenak kemudian, mereka melihat pintu pringgitan terbuka. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar keluar dari ruang dalam.

“Dimana mereka?” terdengar orang itu bertanya.

“Aku minta mereka menunggu di serambi gandok, Ki Tumenggung”

“Bocah edan. Orang itu adalah saudaraku. Kenapa tidak kau persilahkan naik ke pringgitan”

“Aku, aku tidak tahu, Ki Tumenggung. Nampaknya mereka datang dari padesan”

“Aku juga datang dari padesan”

“Baik. Baik. Aku akan mempersilahkannya”

“Bukan kau. Tetapi aku sendiri”

Ki Tumenggung itu  pun kemudian telah turun dari pendapa menuju ke serambi gandok. Sementara itu Kiai Margawasana dan Wikan  pun telah bangkit berdiri.

“Mari, kakang. Silahkan duduk di pringgitan”

“Bukankah disini udara terasa lebih segar?”

“Ah, jangan begitu, kakang. Marilah kita akan berbincang di pringgitan”

Kiai Margawasana  pun memberi isyarat kepada Wikan, agar mereka mengikut Ki Tumenggung naik ke pendapa dan langsung pergi ke pringgitan.

Sejenak kemudian mereka  pun telah duduk di pringgitan. Demikian mereka duduk, maka Ki Tumenggung  pun telah mengucapkan selamat datang, serta mempertanyakan keselamatan keluarga padepokan yang ditinggalkannya.

Baru kemudian Ki Tumenggung itu bertanya, ”Siapakah anak muda itu, kakang”

“Muridku, adi Tumenggung. Muridku yang bungsu”

“Bungsu? Jadi di padepokan sekarang sudah tidak ada murid lagi?”

“Ada. Mereka justru datang lebih dahulu dari muridku yang satu ini. Tetapi anak ini mempunyai banyak kelebihan sehingga ia dapat menyelesaikan kawruh yang aku ajarkan lebih dahulu dari yang lain”

“Apakah kemudian kakang tidak menerima murid lagi?”

“Aku sudah tua, di. Mungkin nanti jika sudah ada orang yang siap untuk menggantikan kedudukanku, perguruanku akan menerima murid lagi”

“Apakah kakang tidak mempersiapkan salah seorang murid kakang untuk pada saatnya menggantikan kedudukan kakang?”

“Sebenarnya aku sudah melakukannya. Aku telah membina seorang muridku. Bahkan selain muridku yang bungsu ini, ia adalah orang yang sudah tuntas. Bahkan telah memiliki pengalaman yang sangat luas”

“Kenapa kakang tidak segera menunjuknya untuk setidak-tidaknya membantu kakang memimpin perguruan kakang.

“Orang itu masih belum bersedia, di. Ia menganggap dirinya masih belum siap”

“Siapakah orang itu? Barangkali aku sudah mengenalnya”

“Adi tentu sudah mengenalnya. Mina. Bahkan isterinya  pun seorang yang mumpuni pula”

“Mina. Ya. Aku mengenalnya. Apakah isterinya juga berasal dari perguruan kakang atau dari perguruan lain?”

“Juga dari perguruanku. Keduanya datang hampir bersamaan. Pada saat itu aku mempunyai lima orang mentrik.

Tetapi empat diantaranya telah meninggalkan sebelum tuntas. Ada saja alasannya. Ada yang dipanggil pulang karena ibunya tinggal seorang diri. Ada yang dipanggil orang tuanya untuk menikah”

“Tetapi yang seorang itu berhasil menyelesaikan masa bergurunya?”

“Ya. Justru karena perempuan itu kemudian menikah dengan seorang cantrik. Nampaknya pernikahan mereka telah mendorong mereka untuk memantapkan niat mereka menimba ilmu hingga tuntas. Ternyata keduanya berhasil”

“Selain mereka, bagaimana dengan muridmu yang bungsu ini?”

“Anak ini juga sudah tuntas. Tetapi ia masih terlalu muda. Pengalamannya  pun masih belum begitu banyak”

Ki Tumenggung Reksaniti tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sambil memandangi Wikan, Ki Tumenggung  pun berkata, “Pada saatnya ngger. Kau akan sampai ke jenjang yang tertinggi di perguruanmu asal kau tidak merasa jemu tinggal di perguruan”

“Ia sudah tidak tinggal di perguruan”

Ki Tumenggung Raksaniti mengerutkan dahinya sambil bertanya, “Kenapa?”

“Ibunya tinggal sendiri di rumah sepeninggal ayahnya. Kedua saudara perempuannya telah meninggalkan rumahnya pula. Seorang sudah menikah dan ikut bersama suaminya, sedangkan seorang lagi berada di Kota Raja ini”

“Tinggal di Kota Raja?”

“Ya”

“Untuk apa?”

“Berdagang Ki Tumenggung” Wikanlah yang menyahut.

“Berdagang? Dimana mbokayumu tinggal?”

“Aku belum pernah datang ke tempat tinggalnya Ki Tumenggung. Tetapi aku pernah mendengar Yu Wiyati dan Yu Wandan menyebut-nyebut alun-alun pungkuran. Mungkin mereka tinggal di dekat alun-alun pungkuraa “

Ki Tumenggung itu  pun mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah esok seseorang membantumu mencari rumah mbokayumu itu”

Wikan mengangguk hormat sambil menujawab, “Ya, Ki Tumenggung”

Pembicaraan mereka terhenti sejenak, ketika Ki Tumenggung mempersilahkan Ki Margawasana dan Wikan minum minuman serta makan makanan yang telah dihidangkan.

Baru kemudian Ki Margawasana  pun berkata, “Adi Tumenggung. Telah datang ke rumahku utusan adi Tumenggung yang minta aku menemui adi. Utusan itu tidak mengetahui kepentingan adi memanggil aku. Nah, bukankah sebaiknya jika adi sekarang memberi-tahukan kepadaku, persoalan apa yang sedang adi hadapi sekarang ini, sehingga adi telah memanggil aku kemari”

“Maaf kakang. Tentu aku tidak berani memanggil kakang. Aku hanya berani minta kakang untuk mengunjungiku. Sudah lama kita tidak bertemu”

“Tetapi tentu ada masalah yang mengganggu adi. Setidak-tidaknya adi minta aku membantu memecahkan masalah itu”

“Tetapi kakang tentu masih lelah. Biarlah kakang beristirahat dahulu. Mungkin kakang akan mandi dan berbenah diri. Biarlah nanti, setelah kakang menjadi segar kembali, sambil makan malam kita bicarakan persoalan itu”

Ki Margawasana menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menolak. Tubuhnya memang terasa menjadi tebal dilekati debu yang terhambur pada saat kulitnya basah oleh keringat.

Seorang pelayan di rumah Ki Tumenggung Reksaniti telah mengantar Ki Margawasana dan Wikan ke bilik yang ada di gandok. Bilik yang nampaknya memang sudah disiapkan bagi mereka berdua. Bergantian Ki Margawasana dan Wikan pergi ke paki wan untuk mandi.

Setelah berbenah diri dan beristirahat sejenak, maka Ki Tumenggung  pun telah mempersilahkan mereka masuk ke ruang dalam.

Lampu telah menyala di mana-mana. Di pendapa dan pringgitan nampak terang berderang. Namun mereka tidak duduk dan berbincang di pringgitan. Tetapi mereka  pun kemudian telah duduk di ruang dalam.

Makan malam telah disiapkan.

Ketika mereka bertiga telah duduk dan menghadapi makan malam, maka Ki Margawasana  pun berkata, “Di. Sejak aku datang, aku belum bertemu dengan Nyi Tumenggung”

Ki Tumenggung menarik nafas panjang. Katanya, “Isteriku sedang sakit, kakang. Justru pada saat yang gawat ini. Aku telah membawanya pulang ke rumahnya. Aku titipkan kepada ayah dan ibunya”

Ki Margawasana  pun mengangguk-angguk. Tetapi ia belum tahu, persoalan apakah yang sebenarnya di hadapi oleh Ki Tumenggung Reksaniti.

Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung  pun mempersilah-kan kedua tamunya untuk makan bersama Ki Tumenggung. Sambil makan, maka Ki Margawasana  pun bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi disini, di. Sehingga Nyi Tumenggung harus mengungsi”

“Persaingan yang tidak sewajarnya, kakang”

“Persaingan?”

“Ya. Seorang Tumenggung Wreda telah meninggal dunia beberapa saat yang lalu. Ki Tumenggung Wreda itu mempunyai kekuasaan di wilayah sebelah Utara Prambanan. Daerah yang subur dan menjanjikan pajak serta pungutan yang lain melampaui daerah-daerah lainnya. Para pemimpin di istana pernah menyebut dua nama untuk menggantikan kedudukan Ki Tumenggung yang telah meninggal. Aku dan Ki Tumenggung Darmakitri. Namun pilihan para pemimpin itu agaknya condong kepadaku, meskipun ada satu dua orang yang tetap mendukung Ki Darmakitri” Ki Tumenggung Reksaniti itu berhenti sejenak. Disuapinya mulutnya. Kemudian Ki Tumenggung itu  pun minum seteguk sambil merenung sesaat.

Ki Margawasana dan Wikan tidak menyela sama sekali. Mereka menunggu Ki Tumenggung itu melanjutkan ceriteranya.

“Kakang” berkata Ki Tumenggung kemudian, “sebenarnya aku tidak mati-matian memperjuangkan kedudukan itu. Segalanya terserah para pemimpin di Mataram. Tetapi nampaknya Ki Tumenggung Darmakitri sangat bernafsu untuk mendapatkan kekuasaan di sebelah Utara Prambanan itu. Disana ada beberapa kademangan yang memiliki segala-galanya yang dapat membuat seorang penguasa menjadi kaya raya sebagaimana Ki Tumeng-gung yang telah meninggal itu”

Ki Margawasana dan Wikan  pun mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.

“Itulah pangkal dari permusuhan yang terselubung ini, kakang. Menurut gelar lahiriah, kami, maksudku aku dan Ki Tumenggung Darmakitri tetap bersikap baik. Apalagi di hadapan para pemimpin di Mataram. Seakan-akan tidak ada persoalan apa  pun di antara kami berdua. Tetapi ternyata Ki Tumenggung Darmakitri telah mengancam hidupku”

Ki Margawasana mengangguk-angguk. Namun kemudian ia  pun bertanya, “Apa yang sudah dilakukannya?”

“Dua orang telah datang ke rumah ini pada suatu malam. Mereka berhasil masuk ke dalam bilik tidurku. Untunglah, bahwa pada saat yang tepat aku terbangun. Agaknya seseorang diantara mereka telah menyentuh geledeg di bilikku sehingga tergeser sedikit. Tetapi suara gesekannya yang tidak begitu keras itu telah membangunkan aku. Dengan demikian aku mempunyai kesempatan untuk membela diri. Seorang terbunuh dalam perkelahian yang singkat di dalam ruangan yang tidak begitu luas. Seorang yang lain sempat melarikan diri. Sebelum mati, yang seorang sempat aku bujuk untuk mengatakan, siapakah yang mengupahnya. Untuk melapangkan jalannya, orang itu berniat mengurangi dosanya dengan menyebut nama Ki Tumenggung Darmakitri. Tetapi apa yang dikatakannya tidak akan dapat dijadikan pegangan untuk menuntut Ki Tumenggung Darmakitri karena orang itu  pun segera meninggal”

“Jadi ia sudah mencoba membunuh adi”

“Ya, kakang. Peristiwa itu membuat isteriku sangat terkejut sehingga menjadi sakit. Karena itu aku memutuskan untuk membawanya pergi dari rumah ini. Di rumahnya ia akan mendapat perlindungan yang baik. Aku percaya kepada ayahnya. Selain ayahnya ada dua adiknya yang akan dapat menjaganya. Selain mereka, ada beberapa orang laki-laki di rumahnya. Karena ayahnya seorang saudagar ternak, maka ia mempunyai beberapa orang pembantu di rumahnya”

“Bukankah disini adi dapat minta perlindungan para prajurit? Adi dapat memanggil sekelompok prajurit untuk ditempatkan di rumah ini”

“Aku tidak dapat mempercayai seseorang kakang. Bukan maksudku bahwa semua orang tidak dapat dipercaya. Tetapi aku tidak dapat memilih. Mungkin orang yang bertugas disini justru orang-orang Ki Tumenggung Darmakitri. Seandainya semula mereka tidak mempunyai hubungan dengan Ki Tumenggung Darmakitri, namun setelah orang itu bertugas disini, Ki Tumenggung Darmakitri sempat menghubunginya dan kemudian mengupahnya untuk melakukan kejahatan itu”

Ki Margawasana mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar di. Ternyata bahwa orang yang kau tugaskan datang kepadaku juga sudah berkhianat. Seorang diantara mereka adalah orang yang mempunyai hubungan dengan Ki Tumenggung Darmakitri”

“Darimana kakang tahu?”

Ki Margawasana  pun kemudian menceritakan perjalanannya ke Mataram. Beberapa orang telah menghentikannya dan mencoba untuk memaksanya kembali sebelum ia sampai di Mataram.

Ki Tumenggung Reksaniti itu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan jantungnya terasa menjadi berdebar-debar.

“Kakang melepaskan mereka semuanya?”

“Ya, di”

“Kenapa kakang tidak membawa mereka kepadaku? Setidak-tidak seorang diantara mereka. Dengan demikian orang itu akan dapat berbicara banyak tentang Ki Tumenggung Darmakitri. Maksudku, dalam hubungannya dengan keselamatanku”

“Pada waktu itu aku tidak memahami persoalan yang sebenarnya. Aku hanya berpikir untuk tidak mempertajam persoalan yang sudah ada”

“Baiklah, kakang. Tetapi bukankah sekarang kakang sudah menjadi jelas?”

“Ya. Aku sudah menjadi jelas.’“

“Karena itulah, maka aku minta kakang datang kemari. Terus terang. Aku ingin mendapatkan kawan yang benar-benar dapat aku percaya di rumah ini. Untuk menghadapi kegilaan Tumenggung Darmakitri aku merasa terlalu lemah. Tumenggung Darmakitri tentu tidak akan berhenti dengan kegagalan-kegagalannya itu. Ia dapat berbuat lebih jahat lagi. Tumenggung Darmakitri adalah seorang yang dapat mengesahkan segala cara untuk mencapai tujuannya, “Ki Tumenggung Reksaniti berhenti sejenak. Kemudian katanya, “Aku tidak ingin berbuat sebagaimana dilakukannya, kakang. Aku hanya ingin melindungi diriku sendiri dari ketamakannya. Tetapi aku  pun tidak dapat mengelak dari pencalonan ini. Jika aku menolak, maka namaku akan tercemar, karena kemudian tentu tersebar kabar bahwa aku menjadi ketakutan karena ancaman sainganku”

“Bagaimanakah jika adi melaporkan hal ini kepada para pemimpin di Mataram?”

“Aku tidak mempunyai bukti atau saksi kakang”

“Seandainya aku dapat membawa orang-orang yang mencegatku di perjalanan”

“Namun agaknya itu  pun belum menjadi jaminan bahwa laporanku akan didengar. Bahkan mungkin aku dapat dianggap memfitnah dengan cara yang sangat licik. Mengupah orang untuk memberikan kesaksian palsu”

Ki Margawasana  pun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah adi. Aku akan berada disini untuk beberapa saat. Mungkin aku dapat membantu. Wikan  pun akan berada disini bersamaku”

“Terima kasih, kakang. Mudah-mudahan para pemimpin di Mataram segera menetapkan, siapakah yang memegang jabatan itu. Jika sudah ditetapkan siapakah yang akan memegang kuasa di daerah yang dianggap dapat menjadi tambang kekayaan itu, tentu tidak akan ada perebutan lagi. Bahkan sebenarnya aku ingin Ki Tumenggung Darmakitri lah yang akan ditetapkan. Mungkin kakang mentertawakan aku, bahwa aku benar-benar menjadi ketakutan. Tetapi sebenarnyalah di hari-hari menjelang saat-saat berakhirnya tugasku ini, aku ingin hidup tenteram. Aku sama sekali tidak bermimpi untuk menjadi kaya raya dengan memeras rakyat yang tinggal di kademangan-kademangan yang berada di sebelah Utara Prambanan. Biarlah mereka menikmati tanahnya yang subur sebagai satu kurnia dari Yang Maha Pemurah”

“Jika benar Ki Tumenggung Darmakitri yang mendapat beban tugas untuk berkuasa di tanah itu?”

Ki Tumenggung Reksaniti menarik nafas panjang. Sambil menggelengkan kepalanya ia  pun menjawab, “Entahlah. Aku tidak tahu, apa saja yang akan dilakukannya. Tetapi menilik wataknya, maka rakyat di sebelah utara Prambanan akan menghadapi masa-masa yang lebih berat dari masa sebelumnya, meskipun Tumenggung yang semula berkuasa di daerah itupuri telah menjadi kaya. Namun Ki Tumenggung Darmakitri akan bertindak lebih jauh lagi”

“Jika demikian, adi harus berjuang lebih keras, justru untuk merebut jabatan itu”

Ki Tumenggung Reksaniti mengerutkan dahinya.

“Dengan demikian, adi Tumenggung akan mendapat kesempatan untuk membebaskan orang-orang yang tinggal di daerah itu dari pemerasan Ki Tumenggung Darmakitri, kecuali jika adi Tumenggung Reksaniti kemudian berubah justru setelah mendapat jabatan itu”

Ki Tumenggung Reksaniti menarik nafas panjang.

“Menurut pcndapatku, adi tidak mempunyai pilihan lain”

“Kakang” berkata Ki Tumenggung Reksaniti kemudian, “aku mengerti. Tetapi aku tidak dapat berbuat lebih jauh daripada menyerahkan keputusannya kepada para pemimpin di Mataram. Jika aku menunjukkan sikap yang lebih tajam lagi, maka perebutan kedudukan itu akan menjadi semakin jelas nampak diantara para pemimpin di Mataram. Aku malu, kakang. Biarlah para pemimpin yang memutuskan. Yang dapat aku lakukan adalah melindungi diriku sendiri dari kemungkinan buruk karena nafsu ketamakan Ki Tumenggung Darmakitri”

Ki Margawasana menarik nafas panjang. Katanya, “Jika demikian, baiklah. Seperti yang aku katakan tadi, biarlah aku tinggal disini beberapa lama. Aku sudah minta beberapa orang muridku yang sudah dapat dipercaya untuk memimpin padepokan selama aku pergi”

“Terima kasih, kakang. Tetapi mudah-mudahan tidak ada apa-apa yang terjadi setelah Ki Tumenggung Darmakitri mengalami kegagalan-kegagalan. Tetapi hal itu aku ragukan menilik watak Ki Tumenggung Darmakitri”

“Tugas kita adalah, mencari saksi dan bukti. Mudah-mudahan kita mendapatkannya jika Ki Tumenggung Darmakitri masih akan melanjutkan usahanya menyingkirkan adi Tumenggung”

“Ya, kakang. Tetapi keberadaan kakang dan Wikan di rumah ini membuat hatiku menjadi tenang. Sebelumnya aku hanya mempersenjatai orang-orangku yang tidak memiliki pengalaman. Seorang pekatikku telah memanggil dua orang pamannya yang kebetulan adalah bekas prajurit yang serba sedikit memiliki kemampuan mempergunakan senjata. Mereka aku minta tinggal disini untuk membantuku jika terjadi

Ki Margawasana  pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baiklah. Keberadaan mereka disini akan dapat membantu kita. Jika Ki Tumenggung Darmakitri akan melanjutkan niatnya, ia tentu akan mengirim orang lebih banyak lagi setelah orang-orangnya gagal memaksa aku mengurungkan niatku datang kemari” sesuatu setelah orang upahan Ki Tumenggung Darmakitri itu gagal membunuhmu. Aku justru berpendapat, bahwa Tumenggung Darmakitri tidak akan dapat memperalat kedua orang bekas prajurit yang tidak dikenalnya sama sekali itu”

Ki Margawasana pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baiklah. Keber-adaan mereka disini akan dapat membantu kita. Jika Ki Tumenggung Darmakitri akan melanjutkan niatnya, ia tentu akan mengirim orang lebih banyak lagi setelah orang-orangnya gagal me-maksa aku mengurungkan niatku datang kemari”

“Ya. Bahkan aku telah minta keduanya untuk mengajari orang-orangku yang biasanya hanya bekerja disawah serta mengurus,ternak itu untuk mengenali senjata serba sedikit. Namun agaknya ada juga gunanya. Setidak-tidaknya ada tiga orangku yang memiliki modal keberanian”

“Besok kami akan dapat berkenalan dengan orang-orang yang sudah lebih dahulu ada disini”

“Baik, kakang. Tetapi jangan menilai mereka sebagaimana kakang menilai murid-murid kakang. Bahkan kedua orang bekas prajurit itu”

Ki Margawasana pun tersenyum.

Demikianlah, maka mereka pun telah menyelesaikan makan malam mereka. Setelah para pelayan menyingkirkan mangkuk-mangkuk yang kotor, maka mereka bertiga masih saja duduk-duduk sambil berbincang panjang, sehingga malam menjadi larut

Baru menjelang tengah malam Ki Tumenggung Reksaniti pun berkata, “Kakang. Hari telah jauh malam. Kakang tentu letih setelah menempuh perjalanan panjang, dan bahkan melayani orang-orang upahan Tumenggung Darmakitri bermain-main. Silahkan kakang beristirahat”

Ki Reksaniti pun kemudian mengantar Ki Margawasana dan Wikan ke gandok untuk beristirahat.

Malam itu tidak terjadi sesuatu di rumah Ki Tumenggung Reksaniti. Ki Margawasana dan Wikan sempat tidur nyenyak dibilik yang disediakan bagi mereka di gandok. Bilik yang rapat, sehingga mereka tidak mencemaskan bahwa seseorang akan dapat menyusup dengan diam-diam. Telinga Ki Margawasana adalah telinga yang sangat tajam. Bahkan Wikan pun telah melatih pendengarannya dengan sebaik-baiknya. Jika ada seseorang yang berusaha menyusup masuk dengan mengoyak dinding atau lewat atap, mereka tentu akan terbangun.

Pagi-pagi sekali Wikan telah bangun. Ia pun langsung pergi ke sumur menimba air untuk mengisi pakiwan sebelum mandi. Namun ternyata bahwa jambangan di pakiwan itu telah penuh.

Karena itu, ia minta Ki Margawasana lah yang mandi lebih dahulu sementara Wikan menimba air.

“Biarlah aku saja yang mengisinya” berkata salah seorang pembantu di rumah Ki Tumenggung Reksaniti.

Tetapi Wikan menjawab sambil tersenyum, “Aku perlu menggerakkan tubuhku agar aku tidak lagi merasa dingin”

Pelayan itu tidak mendesaknya.

Setelah mandi dan berbenah diri, Ki Margawasana dan Wikan pun duduk-duduk di serambi gandok sambil mengamati halaman rumah Ki Tumenggung Reksaniti yang luas dan nampak bersih itu.

Namun Ki Tumenggung Reksaniti memang seorang Tumenggung yang sederhana. Rumahnya bukan sebuah rumah yang berlebihan. Meskipun nampak bersih, tetapi rumah itu serta perabotnya nampak biasa biasa saja.

Agaknya kesederhanaannya itulah yang menarik perhatian beberapa orang pemimpin di Mataram untuk menyerahkan tugas yang berat kepadanya. Para pemimpin itu agaknya berharap bahwa Ki Tumenggung Reksaniti akan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya serta berlandaskan dengan kejujuran sebagaimana nampak pada sikapnya sebelumnya.

Tetapi beberapa orang yang lain telah mencoba untuk mengedepankan Ki Tumenggung Darmakitri. Tentu saja mereka tidak melakukannya tanpa maksud apa-apa. Jika Ki Tumenggung Darmakitri terdampar di ladang yang subur, maka mereka tentu akan terpercik oleh kesuburan itu pula. Ki Tumenggung Darmakitri tentu tidak akan melupakan mereka.

Benturan kepentingan itulah yang menyulut pertentangan tersembunyi di Mataram.

Beberapa saat kemudian, Ki Reksaniti telah mempersilahkan mereka masuk ke ruang dalam untuk makan pagi. Sementara itu, Ki Reksaniti sudah siap untuk pergi ke istana.

“Apakah hari ini Ki Tumenggung akan menghadap di paseban?”

“Tidak, kakang. Tetapi aku merasa perlu untuk mendengar perkembangan keadaan di istana. Terutama menyangkut rencana pengangkatan penguasa di sebelah Utara Prambanan itu”

Ki Margawasana mengangguk. Tetapi kemudian ia pun bertanya, “Adi akan pergi seorang diri ke istana?”

Ki Tumenggung Reksaniti tertawa. Katanya, “Tidak apa-apa kakang”

Demikianlah, setelah makan pagi serta setelah beristirahat sejenak, maka Ki Tumenggung pun segera meninggalkan rumahnya, sebelum Ki Tumenggung berangkat, maka Ki Tumenggung telah memperkenalkan Ki Margawasana dan Wikan sebagai saudara sepupunya dan kemanakannya.

“Mereka akan berada disini untuk beberapa hari. Kalian tentu tahu maksudnya”

Orang-orangnya itu pun mengangguk-angguk. Demikian pula kedua orang bekas prajurit yang berada di rumah itu.

Hari itu, pada saat Ki Tumenggung pergi, Ki Margawasana dan Wikan menyaksikan, bagaimana kedua orang prajurit itu memberikan beberapa petunjuk tentang olah senjata. Beberapa orang laki-laki pembantu di rumah Ki Tumenggung itu dengan sungguh-sungguh berlatih bagaimana mereka mempergunakan senjata. Jika di setiap hari mereka memegang cangkul, bajak, parang dan kapak, maka kedua orang prajurit itu mengajarinya memegang hulu pedang dan landean tombak.

Namun karena mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh, terutama tiga orang yang paling berani diantara mereka, maka mereka pun mulai tidak canggung lagi memegang senjata.

“Bagus juga, guru” desis Wikan.

“Ya. Kita tidak usah mengganggu mereka. Aku kira cara yang dipergunakan oleh kedua orang prajurit itu adalah cara yang pernah mereka lakukan di dunia keprajuritan. Tetapi menurut pendapatku, yang dilakukan itu sudah cukup memadai. Orang-orang itu tidak lagi semudah batang pisang yang ditebang, seandainya mereka harus berhadapan dengan orang-orang upahan. Apalagi bersama para bekas parajurit dan kita berdua. Mudah-mudahan mereka tidak menjadi tumbal keserakahan Ki Tumenggung Darmakitri”

Wikan mengangguk-angguk. Kesungguhan dari para pembantu di rumah Ki Tumenggung itu untuk berlatih, agaknya membantu mereka untuk mempercepat usaha kedua orang bekas prajurit yang ada di rumah Ki Tumenggung Reksaniti itu.

Dengan demikian, maka Ki Margawasana dan Wikan sama sekali tidak mencampuri latihan-latihan yang dilakukan oleh para pembantu di rumah Ki Tumenggung Reksaniti yang dilakukan olehkedua orang prajurit itu.

Namun untuk beberapa saat keduanya menunggui latihan-latihan itu. Dengan rendah hati seorang diantara kedua orang prajurit itu pun berkata, “Ki Margawasana. Kami mohon Ki Margawasana dapat meluruskan kekeliruan kami dalam latihan seadanya ini”

“Tidak ada yang salah, Ki Sanak” sahut Ki Margawasana, “semuanya berjalan sebagaimana seharusnya. Ki Sanak berdua mempergunakan cara berlatih pada prajurit pemula. Namun itu pun sudah sangat memadai. Terutama petunjuk-petunjuk Ki Sanak dalam ikatan kerja sama diantara mereka. Karena sebenarnyalah bahwa mereka tidak akan turun kearena perang tanding”

Demikianlah, maka latihan-latihan itu berlangsung seperti hari-hari sebelumnya. Ternyata mereka mempergunakan waktu sepenuhnya untuk berlatih. Mereka tidak pergi ke sawah dan tidak pergi kemana-mana. Seorang yang biasanya mencari rumput untuk mencampuri makanan kuda di gedogan pun tidak pergi merumput. Tetapi mengupah orang lain untuk pergi ke padang.

Di tengah hari, ketika mereka yang berlatih itu sedang beristirahat, Ki Margawasana dan Wikan pun meninggalkan mereka yang sedang berlatih di kebun belakang, dibawah rimbunnya pohon jambu air yang sudah tua.

“Guru” bertanya Wikan setelah mereka duduk di serambi gandok, “Bagaimana pendapat guru dengan ceritera Ki Tumenggung tentang Ki Tumenggung Darmakitri?”

“Aku percaya kepada adi Tumenggung Reksaniti, Wikan. Aku mengenalnya. Di masa kecil kami sering berada di tempat kakek dan nenek bersama-sama untuk beberapa pekan. Karena itu, aku mengenal watak dan tabiatnya sejak kanak-kanak. Menjelang remaja dan bahkan kami berangkat menjadi dewasa, kami pun sering tinggal bersama untuk beberapa hari. Baru kemudian, ketika aku tinggal di padepokan, maka kami berpisah dan menjadi jarang-jarang bertemu. Meskipun demikian hubungan kami tetap berlangsung dengan baik pada saat-saat tertentu”

Wikan mengangguk-angguk.

“Karena itu, aku merasa wajib untuk membantunya mengatasi masa-masa yang gawat baginya. Jika Mataram sudah menentukan, siapakah yang akan ditunjuk untuk jabatan itu, maka aku kira persaingan itu pun akan berhenti dengan sendirinya, karena sudah tidak akan ada gunanya lagi”

“Apakah usaha untuk membunuh Ki Tumenggung Reksaniti oleh Ki Tumenggung Darmakitri itu pun akan berhenti?”

“Ya. Bukankah Ki Tumenggung Darmakitri sudah tidak berpengharapan lagi?”

“Kalau Ki Tumenggung Reksaniti meskipun sudah diangkat itu dapat disingkirkannya, bukankah ada peluang bagi Ki Darmakitri untuk mendapatkan jabatan itu?”

“Jika Ki Tumenggung Reksaniti sudah resmi menjabat, maka ia akan dapat mengatur pengamanan dirinya jauh lebih baik karena wewenang yang diterima melekat pada jabatannya itu. Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Darmakitri akan kehilangan kesempatan untuk menembus pengamanan itu tanpa kemungkinan adanya akibat buruk”

Wikan mengangguk-angguk.

Beberapa saat mereka duduk berbincang di serambi. Seorang pembantu perempuan di rumah Ki Tumenggung Reksaniti itu pun menghidangkan minuman hangat bagi mereka berdua.

Beberapa saat kemudian, ketika matahari mulai turun disisi Barat langit, terdengar derap kaki kuda memasuki regol halaman.

“Ki Tumenggung sudah pulang” desis Wikan. Ki Margawasana pun mengangguk.

Sebenarnyalah Ki Tumenggung Reksanitilah yang muncul dari pintu regol halaman yang terbuka. Ki Tumenggung pun kemudian meloncat turun dari kudanya dan menambatkannya di patok yang telah tersedia di samping pendapa.

Ki Margawasana dan Wikan pun bangkit berdiri. Namun ternyata bahwa Ki Tumenggung itu justru melangkah ke serambi itu pula.

Bertiga mereka duduk di sebuah amben yang panjang di serambi. Ki Tumenggung Reksaniti mengusap keringatnya yang mengembun di kening.

Sambil menggeleng Ki Tumenggung Reksaniti pun berkata, “Masih belum ada ketetapan. Para pemimpin itu nampaknya tidak menyadari bahwa persaingan ini akan dapat mengorbankan nyawa lebih banyak lagi”

“Apakah adi Tumenggung tidak melaporkan rencana pembunuh di rumah ini, namun adi berhasil melepaskan diri dan bahkan berhasil membunuh salah seorang pelakunya?”

“Tentu kakang. Tetapi seperti pernah aku katakan, orang itu segera mati setelah mengaku. Tetapi hanya akulah yang mendengar pengakuan itu. Tentu saja mulutku tidak akan begitu saja dipercaya. Bahkan mungkin aku akan dapat dituduh memfitnah Ki Tumenggung Darmakitri”

Ki Margawasana mengangguk-angguk. Ia pun mengulangi penyesalannya, bahwa ia tidak menangkap salah seorang yang telah berusaha mencegahnya menemui Ki Tumenggung Reksaniti.

Namun seperti yang pernah dikatakan pula oleh Ki Tumenggung, maka Ki Tumenggung pun menganggap bahwa pengakuan orang-orang itu akan dapat dianggap kesaksian palsu.

“Aku hanya harus berhati-hati disaat-saat seperti ini” berkata Ki Tumenggung Reksaniti kemudian, “untuk itulah aku minta kakang berada disini. Sokurlah bahwa kakang telah mengajak Wikan”

Ki Margawasana mengangguk-angguk. Ki Tumenggung pun kemudian minta diri untuk berganti pakaian di biliknya di ruang dalam.

”Silahkan duduk di pringgitan, kakang”

Demikian Ki Tumeng-gung Reksaniti masuk ke ruang dalam, maka seorang pembantunya telah memba-wa kudanya ke gedogan.

Sepeninggal Ki Tumeng-gung Reksaniti, Wikan pun bertanya, “Apakah tidak seorang pun dari para pemimpin di Mataram, apalagi yang telah mencalonkan Ki Tumeng-gung Reksaniti untuk menduduki jabatan yang kosong itu dapat diajak berbicara?”

“Tentu saja mereka berbicara tentang jabatan yang kosong itu, Wikan. Tetapi Ki Tumenggung Reksaniti tidak akan mengatakan kepada mereka, bahwa ia merasa terancam jiwanya. Para pemimpin di Mataram itu akan dapat menganggapnya dalam ketakutan”

“Guru. Apakah Ki Tumenggung Reksaniti sebenarnya tidak berada dalam ketakutan?”

“Tidak, Wikan. Ki Tumenggung tidak berada dalam ketakutan. Tetapi Ki Tumenggung Reksaniti tidak mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Ia memang memerlukan bantuan dari orang yang paling dapat dipercaya. Itulah sebabnya ia minta aku datang”

“Kedua orang bekas prajurit itu?”

“Mereka adalah orang yang asing disini, sehingga para pengikut Ki Darmakitri tidak mengenal mereka. Dengan demikian, mereka tidak akan menghubunginya serta membujuk-nya dengan janji-janji”

“Guru. Bukankah Ki Tumenggung mengenal dengan baik dua orang yang diutusnya menemui guru. Jika seorang diantara mereka berkhianat, agaknya Ki Tumenggung Reksaniti akan dapat menduga, siapakah yang telah berkhianat itu”

“Mungkin saja Wikan. Maksudmu?”

“Kita ambil saja orang itu dan kita bawa kemari”

“Untuk apa?”

“Biarlah orang itu memberikan kesaksian tentang pengkhianatannya”

“Dapatkah orang itu dituduh bersalah? Bukankah ia tidak berbuat apa-apa? Bukankah ia hanya berceritera bahwa ia baru saja mendapat perintah dari Ki Tumenggung Reksaniti pergi menemui saudara sepupunya?”

“Tetapi setidak-tidaknya orang itu tahu, bahwa ia harus merahasiakan kepergiannya itu”

“Kalau orang itu tidak mengaku? Apakah kita dapat memberikan kesaksian yang dapat dipercaya? Bukan sekedar mengupah orang untuk memberikan kesaksian palsu?”

Wikan menarik nafas panjang. Wikan mengangguk-angguk. Yang terbayang dikepalanya adalah lingkaran-lingkaran yang berputar-putar tanpa poros yang pasti. Setiap tangan yang kuat dapat mempermainkan lingkaran-lingkaran yang berputar itu menurut irama permainannya sendiri.

Ketika kemudian mereka melihat Ki Tumenggung Reksaniti keluar dari pintu pringgitan, maka keduanya punkemudian turun dari serambi gandok dan melangkah ke pringgitan pula.

Ternyata di beberapa hari berikutnya, masih belum ada pembicaraan yang lebih bersungguh-sungguh tentang pengisian jabatan yang telah ditinggalkan oleh seorang Tumenggung Wreda yang telah meninggal itu. Sehingga dengan demikian, maka di rumah Ki Tumenggung Reksaniti itu masih saja dirasakan ketegangan yang mencengkam.

Beberapa orang laki-laki yang tinggal di rumah itu menjadi semakin mengenal watak beberapa jenis senjata. Tangan-tangan mereka pun semakin terbiasa pula memegang hulu pedang dan landean tombak disamping ketrampilan mereka memegang cangkul, memelihara kuda serta pekerjaan-pekerjaan yang lain.

Namun ketegangan pun menjadi semakin memuncak ketika Ki Tumenggung Reksaniti mendapat pemberitahuan agar ia mulai mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menerima jabatan itu. Tetapi nada miring yang masih saja melekat pada pemberi tahuan itu, justru menambah permusuhan terselubung antara Ki Tumenggung Reksaniti dan KI Tumenggung Darmakitri. Karena dalam pemberitahuan itu masih disebut adanya calon yang lain, Ki Tumenggung Darmakitri.

“Pada saat terakhir, Ngarsa Dalem sendirilah yang akan menentukan”

Namun agaknya para pemimpin itu tidak menyadari, bahwa Ki Tumenggung Darmakitri telah kehilangan kiblat. Ia tidak lagi tahu jalan yang pantas ditempuhnya untuk merebut satu kedudukan yang dianggapnya akan dapat memberikan tempat terbaik. Para pemimpin itu tidak tahu bahwa Ki Tumenggung Darmakitri itu berniat untuk menyingkirkan Ki Tumenggung Reksaniti dengan kasar, meskipun ia selalu berpesan kepada orang-orangnya agar kematian Ki Tumenggung Reksaniti berkesan balas dendam atau perampokan.

Ternyata bahwa rencana Ki Tumenggung Darmakitri telah berkembang menjadi sebuah rencana yang besar dan teliti. Tidak seorang pun yang mengira, bahwa timbulnya kejahatan di beberapa tempat, dan justru telah merambah di dalam lingkungan dinding kota adalah bagian dari rencana besar Ki Darmakitri itu.

Kerusuhan-kerusuhan yang timbul itu akan mengaburkan arah penyelidikan jika pada satu saat Ki Tumenggung Reksaniti terbunuh, sementara harta bendanya habis di rampok oleh segerombolan penjahat.

Ternyata bahwa orang-orang Ki Tumenggung Darmakitri itu melaksanakan tugas mereka dengan senang hati. Ki Tumenggung Darmakitri tidak pernah mempersoalkan harta benda hasil rampokan itu, sehingga orang-orang yang melakukan perampokan itu telah mendapat keuntungan ganda.

Para prajurit Mataram menjadi sibuk menghadapi kerusuhan yang terasa semakin meningkat itu. Tetapi setiap kali jebakan mereka selalu luput. Karena sebenarnyalah bahwa diantara para perampok itu terdapat beberapa orang prajurit pula.

Barulah ketika suasana sudah dianggap masak oleh Ki Tumenggung Darmakitri, maka ia mulai mengarahkan rencananya kepada sasaran utamanya. Ki Tumenggung Reksaniti.

“Lakukan sebagaimana kalian merampok di tempat-tempat lain. Berikan ciri-ciri yang sama, sehingga para prajurit yang akan menyelidiki bekas tangan kalian akan mengambil kesimpulan, bahwa yang terjadi di rumah Ki Reksaniti adalah satu perampokan yang disertai kekerasan, sehingga pemilik rumahnya terbunuh”

“Ya, Ki Tumenggung. Ki Tumenggung agar yakin, bahwa kami akan dapat melakukan tugas kami dengan baik”

“Aku percaya kepada kalian”

“Tetapi sesudah kematian Ki Tumenggung Reksaniti, perampokan sebaiknya tidak berakhir begitu saja”

“Maksudmu?”

“Kami masih akan melakukan perampokan beberapa kali lagi”

“Edan kamu”

Dengan demikian, akan timbul kesan bahwa yang terjadi di rumah Ki Tumenggung Reksaniti benar-benar perampokan. Jika perampokan itu berhenti dengan serta-merta, maka seorang yang cerdas penalarannya akan mampu mengurai hubungan antara perampokan-perampokan yang terjadi sebelumnya dengan peristiwa yang terjadi di rumah Ki Tumenggung Reksaniti”

“Kau memang gila. Tetapi lakukah apa yang baik menurut pendapatmu. Dan tentu saja baik untukmu”

Orang itu tertawa.

Sebenarnyalah bahwa orang-orang Ki Tumenggung Darmakitri mulai mempersiapkan diri untuk merampok sedangkan sasaran yang sebenarnya adalah membunuh Ki Tumenggung Reksaniti.

Namun orang-orang itu pun sadar, bahwa di rumah Ki Tumenggung Reksaniti telah hadir dua orang yang akan dapat membantunya. Mereka adalah orang yang berilmu tinggi, karena mereka mampu mengalahkan orang-orang yang telah berusaha mencegahnya datang ke rumah Ki Tumenggung Reksaniti.

Karena itu, maka sekelompok orang yang akan merampok rumah Ki Tumenggung Reksaniti itu telah memperhitungkan baik-baik kekuatan yang ada di dalamnya.

Di malam yang telah direncanakan dengan masak, maka orang-orang yang akan merampok di rumah Ki Tumenggung Reksaniti itu pun telah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Tidak hanya berempat atau berlima. Tetapi mereka telah menyiapkan sepuluh orang pilihan. Diantara mereka terdapat pula dua orang prajurit kepercayaan Ki Tumenggung Darmakitri.

Malam itu terasa sepi sekali. Angin basah bertiup kencang. Pucuk pepohonan pun seolah-olah terayun-ayun di udara.

Para perampok yang telah mempersiapkan diri itu pun merasa bahwa suasana agaknya berpihak kepada mereka. Langit mendung dan angin kencang akan melindungi tugas mereka. Apalagi jika hujan turun atau petir mulai menyambar di langit.

Sebelum tengah malam, mereka telah bergerak mendekati rumah Ki Tumenggung Reksaniti. Seorang diantara mereka mendapat tugas khusus, mencegah seseorang membunyikan kentongan. Menurut pengamatan mereka di hari-hari sebelumnya, kentongan di rumah Ki Tumenggung Reksaniti itu terletak di longkangan sebelah kanan.

Sejenak mereka mengendap di luar dinding halaman. Namun kemudian, seorang demi seorang, mereka pun menyelinap regol halaman.

Untuk beberapa saat mereka berhenti di halaman depan, dibelakang gerumbul-gerumbul perdu yang ditanam sebagai tanaman hiasan. Beberapa pohon soka merah muda, pohon ceplok piring dan bahkan serumpun bunga melati yang bunganya sedang melebat. Nyi Tumenggung sayang sekali kepada rumpun melatinya itu, sehingga Nyi Tumenggung sendirilah yang memelihara dan merapikan rumpun itu.

Namun ternyata mereka datang untuk merampok. Tidak untuk mencuri. Karena itu, maka mereka pun kemudian/ beriringan pergi ke longkangan.

“Kita akan mengetuk pintu butulan” berkata pemimpin perampok itu.

Yang lain mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian, sebagian dari para perampok itu telah berada di longkangan. Dua orang masih berada di halaman depan. Sedangkan dua orang yang lain mengawasi bagian belakang rumah itu.

“Tidak seorang pun dapat keluar dari halaman rumah ini hidup-hidup” berkata pemimpin perampok itu.

“Ya” Yang lain mengangguk.

“Jaga kentongan itu. Jangan sampai seseorang sempat membunyikannya. Bunuh orang yang mendekati kentongan itu”

Para perampok itu tidak lagi berusaha menjaga agar keberada-annya di longkangan itu tidak diketahui orang. Mereka datang tidak untuk bersembunyi. Tetapi mengetuk pintu dan memasuki rumah Ki Tumenggung Reksaniti untuk merampok dan membu-nuhnya. Meskipun di rumah itu ada dua orang yang berilmu tinggi, namun yang datang ke rumah itu bukannya orang-orang yang hanya setingkat dengan orang-orang yang mencegat Ki Margawasana dan Wikan pada saat mereka menuju ke rumah Ki Tumenggung Reksaniti.

Empat orang yang terbaik sudah siapkan untuk melawan kedua orang yang disebut berilmu tinggi itu. Sedangkan yang lain akan membunuh Ki Tumenggung Reksaniti. Jika perlu maka orang-orang yang berada di halaman depan dan belakang akan diberi isyarat untuk memasuki rumah itu pula.

“Sekarang, ketuk pintunya” perintah pemimpin sekelompok perampok itu.

Namun sebelum seorang diantara mereka sempal mengetuk pintu butulan, terdengar suara, “Selamat malam. Ki Sanak. Kalian tidak usah mengetuk pintu itu. Aku berada disini”

Orang-orang yang berada di longkangan itu terkejut. Ketika mereka berpaling, dilihatnya Ki Tumenggung Reksaniti berdiri di longkangan itu. Agaknya Ki Tumenggung telah keluar dari rumahnya lewat pintu gladri yang menghadap ke dapur.

“Kau Tumenggung Reksaniti?”

“Meskipun oncor di longkangan ini redup, tetapi bukankah cukup dapat menerangi wajahku?”

“Setan kau Tumenggung Reksaniti. Sikapmu telah menantang kami”

“Bukan sikapku. Tetapi kedatanganmu telah menantang kami. Kalian datang dengan sombong sekali. Kalian sama sekali tidak berusaha berlindung dari cahaya oncor di longkangan ini. Bahkan kalian justru akan mengetuk pintu butulan. Bukankah itu sikap yang sangat sombong?”

“Kami memang tidak ingin datang dengan sembunyi-sembunyi. Kami datang dengan dada tengadah”

“Ya. Kedatangan kalian telah membangunkan kami” terdengar suara lain.

Para perampok itu pun berpaling. Mereka melihat dua orang berdiri di pintu longkangan yang hanya sedikit terjangkau cahaya oncor yang memang sudah redup itu.

Mereka pun segera menyadari bahwa kedua orang itu tentu orang-orang yang dimaksud dengan dua orang yang gagal dicegah kedatangannya di rumah Ki Tumenggung Reksaniti.

Karena itu, maka empat orang pilihan diantara mereka pun segera mendekatinya. Seorang diantara mereka pun berkata, “Jadi kalian berdua inikah yang disebut orang-orang berilmu tinggi?”

“Tentu bukan Ki Sanak” jawab Ki Margawasana.

“Jangan mencoba mengelabuhi kami agar kalian dapat menyerang kami dengan licik. Sekarang, biarlah kita bertempur dengan jantan. Kita akan berhadapan tanpa menunggu kami menjadi lengah”

“Kita akan bertempur seorang lawan seorang?”

“Persetan kalian berdua”

“Jadi apa yang kalian maksud bertempur dengan jantan?”

“Turunlah ke halaman. Kami akan membantai kalian berdua. Kami akan menyayat tubuh kalian, sehingga esok kalian akan diketemukan terbaring di halaman ini tanpa dapat dikenali lagi”

“Bagus. Kami akan bertarung di halaman” sahut Wikan.

Mereka pun kemudian telah turun ke halaman. Ki Margawasana dan Wikan harus, menghadapi empat orang diantara para perampok yang datang ke rumah Ki Tumenggung itu.

Dua orang diantara para perampok yang sudah berada di halaman melihat mereka yang sedang mempersiapkan diri untuk bertempur. Tetapi mereka tidak berniat melibatkan diri. Mereka bertugas untuk mengawasi agar tidak seorang pun yang melarikan diri. Apalagi melarikan diri lewat pintu regol halaman depan.

Di longkangan, Ki Tumenggung Reksaniti berhadapan dengan dua orang perampok. Seorang diantara mereka adalah pemimpin perampok itu. Ia harus meyakinkan bahwa Ki Tumenggung Reksaniti terbunuh malam itu.

“Menyerahlah Ki Tumenggung”

“Jika aku menyerah, apa yang akan kalian lakukan?”

“Kami akan membawamu?”

“Apakah kalian datang untuk merampok atau untuk kepentingan lain?”

“Kami akan merampok semua harta kekayaanmu”

“Kalau aku tidak berkeberatan dan membiarkan kalian merampok semua harta kekayaanku yang tidak banyak itu?”

”Aku akan tetap membunuhmu”

“ Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa membunuh pemilik rumah yang menentang niatku”

“Sudah aku katakan, jika aku tidak menentangmu dan membiarkan kau mengambil semua harta kekayaanku”

“Kedua orang yang datang untuk memberikan perlin-dungan kepadamu itu sudah terlanjur menantang kawan-kawanku”

“Aku dapat menghentikannya”

“Itu tidak akan berpengaruh. Bagiku, apa yang dilakukan sudah berarti tantangan. Karena itu, maka aku tidak akan dapat lagi menghentikan lagi niatku membunuhmu”

Pemimpin perampok itu terkejut ketika Ki Tumenggung itu justru tertawa. Katanya, “Sikapmu aneh bagiku, Ki Sanak. Ada rahasia yang kau sembunyikan dan tidak ingin kau katakan kepadaku. Namun bagiku dadamu itu bagaikan tembus pandang. Kau tidak dapat menyembunyikan rahasia itu”

“Rahasia apa yang kau maksud?”

“Kau datang untuk membunuhku. Jika kemudian kau merampok, adalah sekedar untuk mengaburkan penyelidikan”

Wajah pemimpin perampok itu menegang. Apalagi ketika Ki Tumenggung Reksaniti itu berkata, “Kedatanganmu ini berpangkal dari ketamakan seseorang yang ingin merebut derajad, pangkat dan semat. Cara yang ditempuhnya sungguh memalukan. Seseorang yang ingin merebut drajad dan pangkat seharusnya bekerja keras serta menunjukkan kemampuannya menjalankan tugas. Bukan dengan membunuh saingannya”

Namun perampok itu kemudian berteriak, “Jangan mengigau. Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Pokoknya aku ingin merampok dan membunuhmu”

“Tidak ada gunanya kau ingkar. Seorang kawanmu telah berkhianat sehingga aku sudah tahu segala-galanya. Aku sudah tahu siapakah yang mengupah kalian”

Pemimpin sekelompok orang yang diupah untuk membunuh Ki Tumenggung Reksaniti itu menggeram. Katanya, “Apa pun yang kau ketahui Ki Tumenggung. Tetapi kau akan mati. Semua yang kau ketahui itu akan kau bawa mati”

“Jika aku mati, orang yang tetap hidup akan dapat membuka rahasia ini”

“Tidak ada yang akan tetap hidup di rumah ini. Semuanya akan mati”

“Begitu mudahkah membunuh seseorang? Ketika dua orang upahan yang terdahulu datang dan berhasil memasuki bilik tidurku, seorang diantara mereka terbunuh. Seorang yang lain memang berhasil melarikan diri sehingga aku tidak dapat menjadikan mereka saksi. Tetapi sekarang kalian justru datang kemari. Kalian atau setidaknya seorang dari kalian akan menjadi saksi, bahwa kalian telah diupah untuk membunuhku”

“Semua itu omong kosong. Tengadahkan wajahmu. Pandang langit serta bintang-bintang untuk yang terakhir kalinya sebelum kepalamu terpenggal dari tubuhmu”

“Sesumbarmu seperti kau dapat menjaring angin. Marilah kita lihat, siapakah diantara kita yang berhasil keluar dari pertempuran ini hidup-hidup. Aku atau kalian berdua”

Pemimpin perampok itu pun segera memberikan isyarat kepada kawannya untuk mempersiapkan diri. Ki Tumenggung pun kemudian bergeser beberapa langkah maju sehingga Ki Tumenggung itu pun berdiri di tengah-tengah longkangan.

Kedua orang yang berniat membunuh Ki Tumenggung itu pun segera bergeser pula. Seorang diantara mereka pun segera meloncat menyerang.

Namun Ki Tumenggung Reksaniti sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Demikianlah Ki Tumenggung Reksaniti pun segera terlihat dalam pertempuran yang sengit. Ternyata kedua orang itu memiliki beberapa kelebihan dari kedua orang yang telah berhasil memasuki biliknya.

Namun Ki Tumenggung tidak sendiri. Sejenak kemudian, dua orang laki-laki telah muncul pula di longkangan itu. Dua orang yang siap melibatkan diri. Seorang diantara mereka adalah salah seorang dari dua orang bekas prajurit yang tinggal di rumah itu.

“Kau libatkan pelayan-pelayanmu, Ki Tumenggung. Mereka akan menjadi korban yang sia-sia”

“Tidak. Mereka adalah orang-orangku yang setia. Apa pun yang terjadi atas diri mereka, bukanlah sia-sia, karena mereka telah membantuku mencoba melawan katamakan seseorang”

‘“Persetan” geram pemimpin sekelompok perampok itu, “bunuh mereka lebih dahulu”

Kawannya pun segera melenting meninggalkan Ki Tumenggung Reksaniti. Dihadapinya dua orang laki-laki yang telah ikut memasuki arena itu”

Tetapi orang itu terkejut. Seorang diantara kedua orang itu menghadapinya dengan mapan. Sementara yang seorang lagi berusaha untuk menempatkan dirinya dengan baik.

Dengan demikian, maka orang itu harus bertempur menghadapi kedua orang lawannya yang ternyata mampu bertahan dari serangan-serangannya. Bahkan seorang diantaranya dengan tangkasnya membalas serangan-serangannya dengan serangan yang berbahaya pula.

Sementara itu, pemimpin perampok yang bertempur melawan Ki Tumenggung Reksaniti pun harus meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Ki Tumenggung Reksaniti pernah berada dalam jajaran keprajuritan Mataram pula, sehingga karena itu, maka Ki Tumenggung Reksaniti bukanlah sasaran yang terlalu lunak bagi pemimpin sekelompok orang yang datang untuk membunuh Ki Tumenggung itu.

Dalam pada itu, pemimpin sekelompok orang yang mendatangi rumah itu pun semakin lama menjadi semakin cemas bahwa usahanya tidak akan segera berhasil. Sementara itu seorang kawannya masih terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Dalam keadaan yang sulit itu, maka pemimpin sekelompok orang yang mendatangi rumah Ki Tumenggung Reksaniti itu pun kemudian memberikan isyarat untuk memanggil orang-orangnya yang berada di halaman belakang atau di halaman depan. Sasaran utama mereka adalah Ki Tumenggung Reksaniti. Karena itu, Ki Tumenggung itu harus dihabisinya lebih dahulu. Baru kemudian dipertimbangkan langkah-langkah berikutnya.

Namun ternyata tidak seorang pun diantara mereka yang datang. Dua orang yang berada di halaman belakang, ternyata sudah terikat dalam pertempuran. Seorang diantara mereka bertempur melawan bekas prajurit yang seorang lagi, sedangkan yang seorang lagi harus bertempur melawan tiga orang laki-laki yang kokoh. Seorang yang terbiasa bekerja di sawah. Di tanah berlumpur dan dibawah teriknya matahari. Seorang yang tugasnya sehari-hari memelihara halaman dan kebun di belakang. Sekali-sekali memotong dahan-dahan pepohonan dan bahkan kadang-kadang harus menebang pohon. Kemudian memotong-motong kayunya dengan kapak yang besar dan sekaligus membelahnya.

Ada pun yang seorang lagi adalah pekatik, yang kedua pamannya bekas prajurit, dan sedang terlibat dalam pertempuran itu pula.

Namun ketiga orang itu sudah diperkenalkan dengan cara untuk membela diri, meskipun baru dasar-dasarnya saja. Namun mereka sudah mampu menghadapi seorang diantara para perampok itu meskipun harus bertempur dalam kelompok kecil.

Sementara itu, dua orang yang berada di halaman depan, tidak dapat membiarkan keempat kawannya yang bertempur melawan Ki Margawasana dan Wikan mengalami kesulitan.

Sebenarnyalah bahwa dua orang yang bertempur melawan Ki Margawasana itu seakan-akan tidak mendapat tempat lagi. Serangan-serangan Ki Margawasana datang beruntun seperti ombak lautan menerpa pantai. Betapa pun kedua orang lawannya mengerahkan kemampuan mereka, namun mereka benar-benar berada di dalam kesulitan. Sekali-sekali terdengar mereka mengaduh tertahan. Mulut mereka pun menyeringai menahan sakit.

Demikian pula kedua orang yang bertempur melawan Wikan. Ternyata Wikan justru lebih garang dari gurunya yang sudah mengendap itu.

Karena itulah, maka dua orang yang bertugas mengawasi halaman depan itu pun merasa terpanggil untuk membantu kawan-kawannya yang mengalami kesulitan.

Namun meskipun Ki Margawasana dan Wikan harus bertempur masing-masing melawan tiga orang, namun mereka masih saja berhasil mendesak lawan-lawan mereka.

Keenam orang yang bertempur melawan Ki Margawasana dan Wikan itu pun mulai menjadi gelisah. Apalagi ketika mereka mendengar isyarat dari pemimpinnya yang berada di longkangan..

Dalam keadaan yang semakin kalut itu, maka orang-orang yang mendatangi rumah Ki Tumenggung itu pun tidak mempunyai pilihan lain. Mereka pun segera mencabut senjata-senjata mereka, sehingga enam helai pedang telah berputaran di gelapnya malam. Sekali-sekali daun-daun pedang itu berkilat memantulkan cahaya lampu yang masih menyala di pendapa rumah Ki Tumenggung Reksaniti.

Menghadapi enam helai pedang, maka Ki Margawasana dan Wikan pun telah menarik senjata mereka pula. Keduanya juga bersenjata pedang, meskipun pedang mereka tidak sebesar pedang orang-orang yang mendatangi rumah Ki Tumenggung Reksaniti itu.

Namun justru karena mereka bertempur dengan senjata, maka kemungkinan buruk pun lebih cepat terjadi pada keenam orang yang bertempur melawan Ki Margawasana dan Wikan.

Dalam pada itu, di longkangan telah terdengar lagi isyarat dari pemimpin gerombolan yang mendatangi rumah Ki Tumenggung itu. Namun isyarat itu masih belum berhasil memanggil salah seorang pun diantara orang-orangnya yang berada di halaman depan atau di halaman belakang.

Karena itu, maka pemimpin gerombolan itu pun menjadi semakin gelisah. Ia mulai menyadari, bahwa ia salah menilai kekuatan yang ada di rumah Ki Tumenggung Reksaniti itu.

Semula pemimpin sekelompok orang yang mendatangi rumah Ki Tumenggung Reksaniti itu tidak memperhitungkan orang-orang yang bekerja pada Ki Tumenggung. Pemimpin sekelompok itu mengira, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak berarti, yang akan menjadi ketakutan dan bahkan bersembunyi di bawah lumbung padi.

Tetapi ternyata mereka telah bangkit serta turun ke arena. Bahkan mereka telah mampu membela diri dan bahkan ketika lawan-lawan mereka bersenjata, mereka pun mampu mempergunakan senjata pula. Dalam kecemasan beberapa kali lagi pemimpin sekelompok orang yang mendatangi rumah Ki Tumenggung itu masih juga memberikan isyarat. Namun isyarat itu agaknya akan sia-sia saja.

Dalam pada itu. pemimpin gerombolan itu sendiri semakin lama menjadi semakin terdesak pula. Kawannya yang bertempur di longkangan itu pula melawan dua orang, rasa-rasanya tidak akan mampu memenangkan pertempuran.

Karena itu, maka dalam keadaan yang hampir putus asa, orang itu pun mulai memikirkan cara untuk melarikan diri dari longkangan rumah Ki Tumenggung itu.

Pada saat yang bersamaan, di halaman, ujung pedang Wikan mulai menyentuh tubuh lawan-lawannya. Bukan saja mengoyak pakaian mereka, tetapi sudah menggores kulit daging mereka.

Dengan demikian, maka orang-orang yang telah mendatangi rumah Ki Tumenggung Reksaniti pun menjadi gelisah pula.

Di halaman belakang, dua orang dari antara sekelompok orang yang mendatangi rumah Ki Tumenggung itu pun masih terlibat dalam pertempuran yang sengit pula. Nampaknya dua orang itu cukup garang menghadapi beberapa orang yang masih belum mempunyai cukup pengalaman untuk mempermainkan senjata. Karena itulah, dua orang diantara para pembantu di rumah Ki Tumenggung itu sudah terluka, meskipun tidak terlalu parah.

Di longkangan, Ki Tumenggung Reksaniti berhadapan dengan dua orang perampok. Seorang diantara mereka adalah pemimpin perampok itu. Ia harus meyakinkan bahwa Ki Tumenggung Reksaniti terbunuh malam itu.

Namun demikian, mereka masih bertempur dengan gigihnya. Sementara itu, seorang bekas prajurit yang bertempur bersama mereka mulai menguasai lawannya. Bekas prajurit itu mulai mendesaknya.

“Bertahanlah” berkata bekas prajurit itu, “jumlah kalian jauh lebih banyak. Kalian dapat menyerang dari arah yang berbeda dalam waktu yang bersamaan “

Orang-orang itu pun sema-kin menghentakkan kemampu-an mereka. Bersama-sama mereka menyerang tanpa mengenal takut. Ujung-ujung senjata mereka bersama-sama terjulur mengarah ke tubuh seorang lawannya. Dua ujung tombak dan dua ujung pedang. Meskipun tidak semuanya memiliki keberanian yang sama, tapi dua orang yang bersenjata tombak itu cukup merepotkan lawannya yang hanya seorang diri, karena seorang yang lain harus mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi tekanan bekas prajurit yang berada di rumah Ki Tumenggung itu

Namun pertempuran yang pertama-tama surut adalah pertempuran di halaman. Dalam keadaan yang rumit, dituar kehendaknya, ujung pedang Wikan telah menembus jantung seorang lawannya, sehingga orang itu pun segera terkapar jatuh.

Tetapi kematiannya tidak meredakan perlawanan kelima orang yang lain. Mereka justru menjadi sangat marah, dan menyerang Wikan dan Ki Margawasana seperti amukan angin prahara.

“Hentikan” Ki Margawasana mencoba memperingatkan, “Jangan menjadi gila. Dalam keadaan yang demikian, maka sulit bagi kami untuk mengendalikan diri. Jika kalian tidak menghentikan serangan-serangan kalian yang membabi buta itu, maka korban akan bertambah lagi.

“Persetan kau setan tua. Jika kau menjadi ketakutan, kau sajalah yang menyerah. Kami akan memenggal lehermu dan leher anak ingusan itu, sebelum aku memenggal leher Tumenggung Reksaniti”

“Kau tidak dapat mengelabuhi kami. Kami mendengar isyarat yang dilontarkan dari longkangan. Bukankah itu isyarat bahwa kawanmu yang ada di longkangan minta bantuan”

“Omong kosong. Isyarat itu mengatakan bahwa tugas mereka akan segera selesai. Ki Tumenggung akan segera dipenggal kepalanya yang akan kami bawa sebagai bukti keberhasilan kami”

“Kalian akan membawanya kemana?”

“Diam kau”

Ki Margawasana memang tidak sempat untuk bertanya lagi. Lawan-lawannya pun segera menyerangnya seperti amuk angin prahara mengguncang pepohonan.

Ki Margawasana tidak mempunyai pilihan lain. Senjatanya pun segera berputaran pula melawan ketiga orang lawannya. Sementara itu, lawan Wikan masih ada dua orang yang menghentakkan kemampuan puncak mereka.

Wikan berloncatan dengan tangkasnya menghindari setiap serangan. Namun pertempuran yang garang itu telah membuat Wikan menjadi semakin garang pula.

Ketika sekali lagi terdengar isyarat di longkangan, maka arang-orang yang bertempur di halaman depan itu menjadi semakin gelisah. Tetapi seorang pun diantara mereka tidak ada yang dapat meninggalkan arena. Bahkan seorang lagi diantara mereka yang bertempur melawan Ki Margawasana telah terkapar di tanah.

Dengan demikian keadaan sekelompok orang yang datang ke rumah Ki Tumenggung itu pun menjadi semakin sulit. Seorang diantara mereka yang bertempur di longkangan melawan seorang bekas prajurit bersama seorang laki-laki muda pembantu di rumah Ki Tumenggung itu pun telah berakhir. Orang itu menjadi terluka parah sehingga ketika ia terjatuh menimpa tangga pintu butulan pada bagian belakang kepalanya, maka ia pun menjadi pingsan.

Pemimpin sekelompok orang yang bertempur melawan Ki Tumenggung Reksaniti itu pun menjadi semakin gelisah. Ketika ia memberikan isyarat lagi, tetap saja tidak ada seorang pun yang datang membantu.

Bahkan Ki Tumenggung itu pun kemudian berkata kepada kedua orang yang membantunya bertempur di longkangan itu, “Lihat kawanmu di halaman belakang. Agaknya mereka sedang bertempur pula melawan beberapa orang”

“Baik, Ki Tumenggung” jawab bekas prajurit itu.

Sepeninggal keduanya, maka Ki Tumenggung Reksaniti berhadapan seorang melawan seorang dengan pemimpin sekelompok orang itu.

Akhirnya, orang-orang yang ditugaskan oleh Ki Tumenggung Darmakitri itu pun telah gagal lagi. Justru lebih parah lagi. Meskipun ada yang berhasil melarikan diri, tetapi tiga orang diantara mereka menyerah, dua orang terbunuh dan dua orang terluka parah.

Ki Tumenggung Reksaniti tidak dapat lagi membiarkan sikap bermusuhan itu menjadi semakin parah. Usaha membunuhnya telah dilakukan tidak hanya sekali. Sehingga karena itu, maka Ki Tumenggung Reksaniti akhirnya telah melaporkan peristiwa yang terjadi di rumahnya itu kepada para pemimpin di Mataram dengan menghadapkan orang-orang yang telah tertangkap di rumahnya. Menghadapkan pula Ki Margawasana dan Wikan yang telah mengalami gangguan di perjalanan ke Mataram. Bahkan seorang utusan Ki Tumenggung Reksaniti untuk menyampaikan permintaannya kepada Ki Margawasana untuk datang ke Mataram yang berkhianat, juga telah dijemput pula di rumahnya.

Ternyata para pemimpin di Mataram mempercayai Ki Tumenggung Reksaniti. Meskipun ada juga beberapa orang yang tetap saja berpihak kepada Ki Tumenggung Darmakitri, tetapi saksi-saksi yang dihadapkan dapat meyakinkan para pemimpin Mataram, bahwa Ki Tumenggung Darmakitri telah bersalah.

Ki Tumenggung Darmakitri tidak dapat nengelak lagi. Bahkan Ki Tumenggung Darmakitri juga dikenai tuduhan telah menggerakkan sekelompok orang untuk mengadakan perampok-an beberapa kali di Mataram.

Dengan demikian, maka persoalan yang dihadapi oleh Ki Tumenggung Reksaniti telah teratasi. Bahkan kedudukannya pun menjadi semakin mantap. Tidak ada lagi orang lain yang dicalonkan menjadi penguasa di tanah yang subur yang membentang di sebelah Utara Prambanan.

Ki Margawasana yang masih berada di rumah Ki Tumenggung Reksaniti menganggap bahwa sudah waktunya untuk meninggal-kan rumah Ki Tumenggung. Agaknya persoalnya akan berkem-bang semakin baik. Bahkan kedudukan Ki Tumenggung Reksaniti pun sudah ditetapkan dengan Surat Kekancingan.

“Adi Tumenggung” berkata Ki Margawasana ketika mereka sedang makan malam, “Bukankah segala sesuatunya sudah teratasi?”

“Ya, Kakang. Semuanya sudah teratasi. Tetapi sebenarnya aku masih ingin minta kakang untuk tinggal beberapa hari lagi disini sambil menunggu kepastian, kapan aku akan diwisuda. Meskipun Surat Kekancingan sudah aku terima, namun belum ada kepastian, kapan wisuda itu akan diselenggarakan”

“Terima kasih, adi. Pada saat Wisuda, aku tentu akan hadir. Aku akan menyisihkan waktu untuk dapat menunggui adi Tumenggung dalam wisuda itu. Tetapi justru karena waktunya belum ditentukan, sebaiknya aku pulang saja lebih dahulu”

“Kakang berjanji?”

“Aku berjanji untuk datang, di” Ki Margawasana itu berhenti sejenak. Lalu, “Sebenarnyalah adi Tumenggung. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada adi”

“Apa kakang. Kakang tidak usah ragu-ragu. Jika aku dapat membatunya, maka aku akan melakukannya”

“Di. Wikan adalah muridku yang telah menyelesaikan masa-masa bergurunya. Meskipun sedikit, tetapi Wikan telah mempunyai bekal kawruh bagi masa depannya. Karena itu, di. Jika memungkinkan, aku ingin menitipkan Wikan untuk mengabdi di Mataram. Ia tidak memerlukan kedudukan yang baik. Apa pun yang harus dikerjakan, akan dikerjakannya dengan senang hati. Apalagi jika adi Tumenggung akan memikul tugas baru itu. Mungkin Wikan akan dapat membantu, meskipun harus mengabdi di tataran terbawah sekalipun. Dengan demikian ia akan belajar mengetrapkan kawruh dan ilmunya yang sedikit itu di dalam hidup bebrayan. Hidup dalam lingkungan yang lebih besar dari sebuah padepokan dan hidup di padesaan”

Ki Tumenggung Reksaniti mengangguk-angguk. Sambil beringsut setapak ia pun berkata, “Tentu aku akan dapat menerimanya dengan senang hati, kakang. Jika benar Wikan akan mencari pengalaman dalam hidup beberayan agung, maka aku akan berusaha untuk menempatkannya”

“Adi” bertanya Ki Margawasanna, “Jika adi Tumenggung nanti menerima kedudukan baru itu, apakah adi harus tinggal di sebelah Utara Prambanan”

“Tidak, kakang. Aku dapat saja tetap tinggal di Kota Raja. Aku dapat menempatkan beberapa orang petugas untuk mengawasi daerah yang menjadi wilayah kekuasaanku itu. Namun Tanah Pelungguhku akan terletak dilingkungan kekuasaanku itu pula”

“Wikan” berkata Ki Margawasana kepada Wikan, “Kau dengar keterangan Ki Tumenggung. Karena itu, agaknya aku ingin meninggalkan kau disini. agar Ki Tumenggung dapat memberikan tempat kepadamu. Kau tidak boleh memilih. Kau jalani saja perintahnya, apa pun yang harus kau kerjakan dalam permulaan pengabdianmu kepada Mataram”

“Ya, guru. Aku akan mematuhinya”

“Bagus Wikan. Kau tinggal saja disini sebelum kau mendapat tugas barumu. Mungkin aku akan menempatkanmu di Prambanan bersama beberapa orang petugas yang akan diperbantukan kepadaku”

“Terima kasih, Ki Tumenggung” sahut Wikan.

Dengan demikian, maka Ki Margawasana  pun memutuskan untuk kembali ke padepokan esok pagi. Namun Wikan akan ditinggalkannya di rumah Ki Tumenggung Reksaniti.

Malam itu, sebelum di pagi harinya Ki Margawasana meninggalkan Kota Raja, maka Ki Margawasana pun masih memberikan beberapa pesan kepada Wikan, apa yang sebaiknya dilakukannya.

“Aku akan selalu mengingatnya, guru” berkata Wikan kemudian dengan bersungguh-sungguh.

“Baiklah Wikan. Gaya hidup di kota sangat berbeda dengan hidup di padesan. Kesederhanaan dan kejujuran akan dapat dianggap kelemahan. Pertolongan yang diberikan kepada sesama tidak selalu dihargai. Namun kadang-kadang orang yang menolongnya akan dapat menjadi landasan ketamakan seseorang”

“Ya, guru”

“Tetapi bukan berarti bahwa kau harus berubah menjadi serigala diantara sesamamu. Kau harus tetap berpijak pada sikap yang baik. Namun kau jangan menjadi sakit hati jika kebaikanmu itu akan tercampak ke dalam lumpur kehidupan di kota yang ramai”

“Ya. guru”

“Bagaimanapunjuga, kau harus tetap menjaga hubunganmu dengan Tuhan Yang Menciptakan dan Memelihara Seluruh Alam”

“Ya, guru”

Malam itu Wikan tidak dapat tidur dengan nyenyak. Esok pagi ia akan ditinggalkan oleh gurunya di satu lingkungan kehidupan yang berbeda dengan yang selalu dijalaninya sehari-hari. Namun gurunya berpesan kepadanya agar ia tidak berubah. Agar ia tetap menjaga hubungannya dengan Tuhan Yang Menciptakan dan Memelihara Seluruh Alam.

Pagi-pagi sekali Wikan sudah bangun. Namun gurunya pun sudah bangun pula. Ketika gurunya mandi, Wikan menimba air untuk mengisi jambangan, sebelum Wikan sendiri kemudian mandi.

Sebelum matahari terbit, gurunya sudah siap. Namun Ki Tumenggung masih minta kepadanya untuk duduk sebentar di ruang dalam untuk minum-minuman hangat serta makan pagi.

Baru kemudian Ki Margawasana itu minta diri.

“Terima kasih atas segala bantuan kakang. Pada kesempatan lain, aku ingin datang ke padepokan kakang. Aku ingin berbuat sesuatu bagi kebaikan padepokan itu. Aku pun berharap bahwa padepokan itu akan dapat segera menerima murid-murid baru meskipun harus terpilih agar kelangsungan hidup perguruan kakang dapat terpelihara”

“Aku sudah tua, di. Tetapi aku berharap agar orang lain dapat meneruskan tugasku. Bagiku Wikan adalah muridku yang bungsu. Tetapi aku pun berharap bahwa Wikan bukan murid bungsu di perguruanku”

“Ya, kakang. Semoga perguruan kakang itu akan semakin mekar di hari-hari mendatang.

“Mudah-mudahan, di. Aku akan berbicara dengan murid-muridku terbaik, meskipun mereka sudah tidak tinggal di padepokan lagi”

“Pada saatnya aku akan datang ke padepokan itu, kakang”

“Terima kasih, adi Tumenggung. Aku menunggumu. Sementara itu aku titipkan Wikan disini”

“Baik, kakang. Aku akan berusaha menempatkan pada tempat yang pantas baginya”

Menjelang matahari terbit, maka Ki Margawasana pun minta diri Wikan mencium tangan gurunya sambil berkata, “Selamat jalan guru. Aku akan berusaha untuk melakukan yang terbaik”?

Gurunya menepuk bahunya sambil berkata, “Kau harus patuh kepada Ki Tumenggung sebagaimana kau patuh kepadaku”

“Ya, guru”

Ki Margawasana tersenyum. Kemudian katanya kepada Ki Tumenggung Reksaniti, “Sudahlah adi Tumenggung. Mumpung masih pagi”

Sejenak kemudian, Ki Margawasana itu pun meninggalkan rumah Ki Tumenggung untuk menempuh perjalanan yang panjang, kembali ke padepokan. Namun Ki Margawasana sudah menyatakan akan singgah di rumah ibu Wikan, untuk mengatakan bahwa Wikan ditinggalkannya di Mataram. Di rumah Ki Tumenggung Reksaniti”

Sejak hari itu. Wikan berada di rumah Ki Tumenggung Reksaniti. Sementara itu kesibukan Ki Tumenggung pun menjadi semakin meningkat. Ki Tumenggung harus mempersiapkan segala sesuatunya sehubungan dengan jabatannya yang baru.

Sebelum Ki Tumenggung mulai menapak, maka ia harus meneliti para petugas yang ditinggalkan oleh pejabat yang lama. Ada diantara mereka yang masih dapat dipergunakannya, tetapi ada yang harus diganti. Terutama mereka yang sudah menjadi semakin tua.

Namun kepada mereka, Ki Tumenggung Reksaniti pun berkata, “Mungkin caraku menjalankan tugas ini berbeda dengan pejabat sebelumnya. Pada bulan-bulan pertama aku masih akan mempelajari segala sesuatunya. Yang dapat aku lanjutkan dan sesuai dengan caraku akan aku teruskan. Tetapi yang tidak sesuai akan aku hentikan”

Beberapa orang petugas memang menjadi gelisah. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain kecuali menunggu keputusan Ki Tumenggung Reksaniti.

Namun sebagian dari para petugas itu mengetahui, bahwa Ki Tumenggung Reksaniti adalah seorang Tumenggung yang sederhana dan kokoh berpegang kepada paugeran yang berlaku. Ia bersikap jujur dan terbuka dalam tugas-tugasnya.

Para petugas itu pun menyadari, bahwa ada beberapa perubahan akan diberlakukan oleh Ki Tumenggung Reksaniti.

Namun ada juga diantara mereka yang berkata, “Ki Tumenggung belum mengecap manisnya akan tugas ini. Nanti, lambat laun, ia tentu akan berubah”

“Belum tentu” jawab yang lain, “Ia bukan orang baru di Mataram. Setelah bertahun-tahun ia mengabdi, ia masih saja tetap Tumenggung Reksaniti” Tumenggung Reksaniti” Kawannya menarik nafas panjang.

Sementara itu seorang yang lain berkata, “Kenapa kita harus menjadi gelisah? Seandainya kita akan mendapat tugas dilain tempat pun kita sudah memiliki bekal cukup untuk hidup sampai ke anak cucu. Kita dapat membeli sawah yang tidak akan aus diterpa hujan”

“Sawah itu memang tidak akan menjadi aus. Tetapi anakku sembilan. Jika tanah itu dibagi menjadi sembilan, maka mereka akan menerima sepersembilan saja dari tanahku itu. Penghasilan mereka pun akan menjadi kecil.”

“Bukankah sebelumnya kau dapat mengembangkan tanahmu itu. Kau dapat menabung hasil sawahmu sebelum kau bagi kepada anak-anakmu”

“Dalam jabatan ini. bukankah aku tidak merasa perlu bersusah payah untuk menabung? Penghasilanku mengalir seperti air digerojongan Bukit Kendi itu”

“Bukankah orang-orang tua berkata bahwa hidup ini seperti putaran roda pedati. Sekali dibawah sekali diatas. Nah, kau sudah terlalu lama diatas. Pada saatnya kau pun harus mengalami dibawah. Adalah kebetulan bahwa pedati itu terperosok kedalam kubangan. Nah, kaulah yang akan tersuruk ke dalam kubangan itu”

“Aku berdoa, semoga pada saat aku diatas, pedati itu berhenti”

“Ya. Itu sudah terjadi selama ini. Sekarang, pedati itu mulai bergerak lagi. Rodanya mulai bergulir”

Orang-orang itu pun tertawa. Tetapi betapa kecutnya tawa mereka, yang mentertawakan diri mereka sendiri.

Sementara itu, Ki Tumenggung Reksaniti telah menempatkan Wikan diantara para petugas itu. Ki Tumenggung Reksaniti yang didalam waktu beberapa hari sempat berbincang-bincang dengan Wikan, telah menjajagi pula, sejauh manakah kawruh yang dimilikinya. Sementara itu, Ki Tumenggung tidak meragukan lagi kemampuan Wikan dalam olah kanuragan.

Sementara Wikan berada dirumah Ki Tumenggung, maka Wikan pun telah berkenalan dengan beberapa orang prajurit serta petugas yang berada dibawah pimpinan Ki Tumenggung. Sekali-sekali di sore hari, Wikan berjalan-jalan dengan mereka di sepanjang jalan kota.

Sebenarnyalah Wikan memang ingin mencari tempat tinggal kakak perempuannya. Tetapi Wikan masih segan untuk minta ijin kepada Ki Tumenggung, sengaja mencari rumah kakaknya itu, meskipun kepada para pembantu di rumah Ki Tumenggung serta kedua orang bekas prajurit yang masih berada di rumah Ki Tumenggung itu Wikan sudah minta tolong, seandainya mereka menjumpai seseorang gadis yang bernama Wiyati atau Wandan.

Tetapi setelah beberapa hari. mereka masih belum pernah menemukannya. Sekali-sekali jika diantara mereka pergi ke pasar, mereka pun bertanya-tanya diantara para pedagang kain, jika saja mereka mengenal Wandan atau Wiyati. Namun tidak seorang pun yang pernah mengenalnya.

Namun setelah beberapa lama Wikan tinggal di rumah Ki Tumenggung, serta setelah Ki Tumenggung menetapkan bahwa Wikan akan ditugaskan di daerah kuasa Ki Tumenggung di Prambanan setelah Ki Tumenggung di wisuda, maka Wikan pun tidak dapat menunda-nunda lagi. Ia ingin menemukan kakaknya sebelum ia berangkat ke Prambanan.

“Baiklah Wikan” berkata Ki Tumenggung Reksaniti, “Kau masih mempunyai waktu untuk menemukan kakakmu. Di akhir bulan aku akan diwisuda. Setelah itu, maka kita akan pergi ke Prambanan. Selanjutnya, kau akan tetap berada di Prambanan. Sedangkan aku akan mengendalikannya dari Kota Raja”

Terima kasih. Ki Tumenggung. Mudah-mudahan aku segera menemukannya”

Ternyata bahwa Ki Tumenggung pun berusaha ikut membantu pula meskipun dengan caranya. Setiap kali ia berceritera dengan para petugas yang ada di bawah perintahnya, bahwa seseorang sedang mencari kakaknya yang berada di Kota Raja.

Hari-hari pun telah berlalu. Semakin mendekati saat-saat Ki Tumenggung diwisuda, maka Ki Tumenggung telah menjemput Nyi Tumenggung dari rumah dari rumah orang tuanya, karena Ki Tumenggung meyakini, bahwa tidak ada lagi ancaman baginya. Apalagi setelah Ki Tumenggung mendapat Surat Kekancingan, sehingga ia mempunyai wewenang untuk menugaskan beberapa orang prajurit berjaga-jaga di rumahnya.

Sementara itu Wikan menjadi semakin gelisah. Ia belum berhasil menemukan kakak perempuannya. Bahkan Wikan telah berkeliling lingkungan alun-alun pungkuran. Tetapi Wikan tidak menemukan rumah Wandan dan Wiyati.

Namun berita yang sangat tidak diharapkan itu pun akhirnya sampai ketelinga Ki Tumenggung Reksaniti. Seorang Rangga yang mendengar Ki Tumenggung Reksaniti menyebut-nyebut nama Wandan dan Wiyati, telah menemuinya. Tetapi Ki Rangga itu tidak mau menemui Ki Tumenggung di rumahnya. Tetapi Ki Rangga itu sengaja menemui Ki Tumenggung Reksaniti di halaman istana, setelah Ki Tumenggung meninggalkan paseban.

Sambil tersenyum-senyum Ki Rangga itu pun berkata, “Ki Tumenggung mencari perempuan yang bernama Wandan dan Wiyati?”

“Bukan aku. Tetapi ada sanakku dari desa yang mencarinya. Justru adik dari perempuan yang bernama Wiyati itu.

“Ah, yang benar saja Ki Tumenggung”

Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Katanya, “Benar, Ki Rangga. Adik Wiyati itulah yang mencarinya. Seorang anak muda. Namanya Wikan”

Ki Rangga tertawa. Katanya, “Aku tidak mengira bahwa Ki Tumenggung Reksaniti juga memerlukan Wandan dan Wiyati”

“Kau ini kenapa Ki Rangga” wajah Ki Tumenggung menjadi tegang.

“ Keduanya memang pilihan, Ki Tumenggung. Wiyati memang lebih muda. Ia datang kemudian setelah nama Wandan banyak dikenal oleh para perwira”

“Maksudmu?” pertanyaan Ki Tumenggung itu terputus.

“Kalau Ki Tumenggung Reksaniti memerlukannya untuk bekal penugasan Ki Tumenggung di Prambanan, aku akan memanggil mereka atau salah seorang dari mereka”

“Kau jangan seperti orang gila, Ki Rangga, Aku bersungguh-sungguh. Aku bukan orang semacam yang kau duga”

Dahi Ki Rangga mulai berkerut. Ia melihat kesungguhan kata-kata Ki Tumenggung yang agaknya menjadi marah.

“Tetapi Ki Tumenggung mencari keduanya”

“Sudah aku katakan, adiknya, seorang anak muda sedang mencarinya. Ia tidak tahu dimana kakak perempuannya tinggal. Ia tidak tahu apa kerja kakak perempuannya di Kota Raja. Dari rumahnya perempuan itu minta ijin untuk berdagang. Tetapi menurut Ki Rangga, agaknya ia telah terjun ke jalan sesat”

“Jadi….”

“Anak muda itu sekarang tinggal di rumahku”

Ki Rangga itu menjadi pucat. Ia melihat Ki Tumenggung benar-benar marah. Kemarahan Ki Tumenggung akan dapat berpengaruh atas kedudukannya.

Dengan nada berat Ki Tumenggung itu pun kemudian berkata, “Ki Rangga. Marilah. Aku ajak Ki Rangga menemui anak itu”

”Maksud Ki Tumenggung Reksaniti?”

“Katakan kepadanya, apa yang kau ketahui tentang Wiyati”

“Tetapi…..”

“Aku tidak ingin mendengar Ki Rangga membantah dan berusaha mengelak dan ingkar”

“Apakah aku harus mengatakan apa adanya kepada anak muda itu?”

“Ya”

“Apakah lidahku mampu untuk mengucapkannya?”

“Kau harus mengatakan kepadanya. Tetapi jika yang kau katakan itu tidak benar, maka kau akan dapat dituduh memfintah”

“Aku tidak memfitnah, Ki Tumenggung. Aku berkata sebenarnya. Aku sendiri pernah membawa kedua-duanya bersama seorang kawanku, seorang saudagar yang kaya raya.

“Karena itu, ikut aku sekarang ke rumahku”

“Tetapi bukankah Nyi Tumenggung sudah pulang?”

“Ia tidak akan menungguimu selama kau ada di rumahku”

Ki Rangga tidak dapat mengelak lagi. Ia pun harus ikut bersama Ki Tumenggung Reksaniti ke rumahnya.

Di sepanjang jalan, jantung Ki Rangga terasa berdentangan. Ia tidak mengira bahwa ia akan dihadapkan pada satu pekerjaan yang akan sangat membebani perasaannya. Tetapi ia harus melakukannya.

Sebenarnyalah, ketika Ki Rangga itu kemudian duduk di pringgitan rumah Ki Tumenggung, Nyi Tumenggung Reksaniti hanya menerimanya serta mengucapkan selamat datang. Kemudian Nyi Tumenggung itu meninggalkannya untuk menyiapkan hidangan bagi tamunya.

Wikan yang sedang berada di belakang merasa terkejut ketika ia di panggil oleh Ki Tumenggung Reksaniti untuk ikut menemui seorang tamu di pringgitan.

“Wikan” berkata Ki Tumenggung dengan suara yang berat, “Kau akan menjadi seorang yang mempunyai tugas yang berat di daerah sebelah Utara Prambanan. Karena itu, kau harus mempersiapkan dirimu sebaik-baiknya. Kau harus menjadi seorang yang tabah menghadapi tugas-tugas beratmu. Mungkin bukan saja beban tugas bagi kewadaganmu, tetapi juga bagi perasaanmu”

“Ya, Ki Tumenggung” jawab Wikan sambil menundukkan kepalanya.

“Kau harus berlatih untuk menerima kenyataan bagaimana pun pahitnya. Mungkin karena tugas-tugasmu. Tetapi juga permasalahan yang menyangkut pribadimu. Kau harus membiasakan diri untuk menjalankan tugasmu dengan baik tanpa terpengaruh oleh persoalan pribadimu”

Jantung Wikan menjadi berdebar-debar. Ia merasakan sesuatu yang tidak sewajarnya. Sekilas ia mencoba melihat, apakah ia telah melakukan kesalahan selama ia berada di rumah Ki Tumenggung Reksaniti. Apakah usahanya mencari kakak perempuannya tidak berkenan di hati Ki Tumenggung karena dianggap menghalangi tugas yang bakal dipikulnya.

“Wikan” berkata Ki Tumenggung Reksaniti kemudian, “sebaiknya kau dengarkan keterangan Ki Rangga yang menyangkut dirimu dan keluargamu. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, bahwa persoalan ini jangan mempengaruhimu dalam menjalankan kewajiban-kewajibanmu’“

Wikan mengangkat wajahnya sejenak. Namun kemudian ia pun segera menunduk lagi.

“Wikan” berkata Ki Rangga kemudian, “Apakah kau sudah siap mendengarkannya?”

Jantung Wikan berdebar semakin cepat. Namun ia pun kemudian menjawab, “Sudah Ki Rangga. Aku sudah siap mendengarkannya”

Sebenarnyalah bahwa jantung Ki Rangga pun berdebaran pula. Tetapi ia tidak dapat mengelak lagi. Ia harus mengatakannya kepada anak muda itu.

“Wikan” suara Ki Rangga bergetar, “Apakah kau sedang mencari kakak perempuanmu?”

Wikan pun mengangkat wajahnya pula. Ia merasakan sepercik harapan untuk dapat menemukan kakak perempuannya. Tetapi kemudian debar jantungnya terasa lagi. Pesan Ki Tumenggung membuatnya menjadi gelisah.

“Apakah sesuatu telah terjadi dengan mbokayu Wiyati?” pertanyaan itu pun mulai menyentuh hatinya.

“Anak muda” berkata Ki Rangga, “Aku terpaksa mengatakan apa yang sebenarnya. Kau harus berani menghadapi kenyataan tentang kakak perempuanmu itu”

Wikan tidak menjawab. Tetapi darahnya serasa semakin cepat mengalir.

“Aku tidak mempunyai kata-kata lain yang lebih lunak, Wikan. Aku minta maaf. Agaknya kakakmu telah turun ke jalan simpang yang menyesatkannya”

“Ki Rangga” suara Wikan pun terdengar parau, “Apakah maksud Ki Rangga”

“Bahaya yang menerkam sebagian anak-anak perawan yang mencoba mencari jalan kehidupan di Kota Raja. Kakak perempuanmu ingin cepat mendapatkan kesenangan di kota ini, sehingga kakak perempuanmu telah memilih jalan pintas bersama perempuan yang bernama Wandan”

“Aku tidak tahu maksud Ki Rangga. Aku mohon Ki Rangga mengatakannya dengan jelas”

Mulut Ki Rangga justru menjadi semakin berat. Untuk beberapa saat ia justru tidak mengucapkan sepatah kata pun meskipun bibirnya bergerak.

Yang kemudian menyahut adalah justru Ki Tumenggung Reksaniti, “Wikan. Kakak perempuanmu telah memilih jalan sesat. Kakak perempuan telah menuruni dunia hitam sebagai perempuan yang menjual dirinya”

Adalah dituar kembali nalarnya jika tiba-tiba saja Wikan itu menyahut, “Tidak. Tidak mungkin. Itu tidak mungkin Ki Tumenggung. Kakak perempuanku adalah seorang perempuan yang baik, yang tidak pernah melakukan perbuatan yang terlarang”

“Maaf Wikan. Kenyataan ini tentu satu kenyataan yang sangat pahit. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, kau harus berani menghadapi kenyataan ini” berkata Ki Tumenggung dengan suara merendah. Kami tidak mempunyai pilihan lain daripada mengatakan apa adanya. Mungkin kau masih sempat merubah jalan kehidupan kakak perempuanmu itu sehingga ia dapat kembali ke jalan yang benar”

“Ki Rangga” suara Wikan meninggi, “tolong, barangkali Ki Rangga dapat memerintahkan seseorang untuk membawaku kepadanya”

“Tidak sekarang, Wikan” berkata Ki Rangga, “Aku ingin kau membuktikannya sendiri. Jika kau datang ke rumahnya, maka ia akan dapat ingkar. Jika demikian, maka kau akan dapat menuduh aku telah memfitnahnya”

“Maksud Ki Rangga?”

“Besok malam ikutlah aku ke rumah Ki Tangara. Seorang saudagar kaya. Kau akan melihat perempuan yang bernama Wandan dan Wiyati ada disaha bersama beberapa orang perempuan yang lain. Ki Tangara, saudagar kaya yang tidak terikat pada tatanan kehidupan itu dapat berbuat apa saja sesuka hatinya meskipun ia sudah mempunyai tiga orang isteri yang masih tinggal bersamanya. Sedangkan isterinya yang telah dicerai jumlahnya tidak terhitung lagi. Besok malam ia akan memanggil kawan-kawannya terdekat untuk menyelenggarakan keramaian yang tidak genah ujung pangkalnya”

“Ki Rangga juga diundang?” bertanya Ki Tumenggung Reksaniti.

“Aku mengenal Ki Tangara dengan baik”

“Cobalah kau buktikan sendiri Wikan. Tetapi ingat, kau jangan membuat kekisruhan di Kota Raja ini agar kau tidak harus berurusan dengan para petugas yang menjaga ketertiban”

Rasa-rasanya Wikan tidak sabar lagi menunggu sampai esok malam. Namun ia berusaha untuk menguasai perasaannya. Bagaimana  pun juga ia tidak dapat melupakan pesan gurunya agar ia patuh kepada Ki Tumenggung sebagaimana ia patuh kepada gurunya.

“Baiklah Ki Rangga” berkata Ki Tumenggung kemudian, “bawalah Wikan besok malam ke rumah saudagar kaya itu”

“Baik, Ki Tumenggung. Sekarang aku mohon diri” lalu katanya kepada Wikan, “Aku sekali lagi minta maaf kepadamu Wikan. Tetapi sebagaimana pendapat Ki Tumenggung, aku merasa lebih baik berkata sejujurnya kepadamu. Bagaimanapun juga kenyataan ini disembunyikan, namun pada suatu saat, kau dan keluargamu tentu akan mengetahuinya. Menurut pendapatku, semakin cepat kau mengetahuinya, akibatnya tentu semakin baik”

Wikan memandang Ki Rarigga itu dengan wajah yang tegang. Namun Wikan masih mampu menguasai perasaannya. Karena itu, maka ia pun masih juga menjawab dengan kata-kata yang sendat, “Terima kasih Ki Rangga. Besok aku akan pergi bersama Ki Rangga”

Ketika Ki Rangga itu kemudian meninggalkan rumah Ki Tumenggung, maka Wikan masih duduk di pendapa bersama Ki Tumenggung. Dengan nada dalam Wikan itu pun berkata, “Ki Tumenggung. Jika benar apa yang dikatakan oleh Ki Rangga, maka aku sama sekali tidak pantas untuk mengabdikan diri kepada Ki Tumenggung. Aku merasa terpelanting ke dalam lumpur kenistaan, terseret oleh perilaku kakak perempuanku itu”

“Tidak Wikan. Kau tidak terpercik oleh kesalahannya. Setelah beberapa hari kau disini dan setelah kita sering berbincang tentang banyak hal, aku yakin, bahwa kau justru akan membenci tingkah laku kakak perempuanmu itu. Karena itu, aku tidak dapat menyalahkanmu. Bagiku kau adalah kau dan kakak perempuan adalah pribadi yang berbeda”

“Tetapi kami adalah telur sepetarangan Ki Tumenggung. Kami dilahirkan oleh ibu dan ayah yang sama”

“Tetapi kau tahu bahwa dari telur sepetarangan, kadang-kadang menetas seekor anak ayam yang berwarna putih, tetapi ada pula yang berwarna hitam”

“Namun keberadaanku disini akan mengotori nama Ki Tumenggung. Orang-orang yang mengenal kakak perempuanku seperti Ki Rangga akan memandangku seorang dari antara orang-orang yang nista. Keberadaanku disini tentu akan menodai nama baik Ki Tumenggung yang baru akan diwisuda”

“Sudahlah. Jangan berpikir macam-macam. Bukankah kau belum membuktikan sendiri kata-kata Ki Rangga itu?”

Wikan pun terdiam. Ia memang masih harus menunggu untuk meyakinkan, apakah benar mbokayunya terlempar kedalam kehidupan yang redup untuk menjual dirinya.

Rasa-rasanya waktu berjalan lambat sekali. Wikan hampir tidak telaten menunggu saat yang dijanjikan oleh Ki Rangga. Dihari berikutnya sambil menunggu turunnya malam, maka Wikan telah mengerjakan apa saja yang dapat dilakukan untuk melupakan waktu.

Akhirnya malam pun turun pula. Ternyata Ki Rangga tidak ingkar janji. Ia pun datang ke rumah Ki Tumenggung, untuk membawanya pergi ke rumah Ki Sudagar Tangara.

Ketika Wikan akan berangkat ke rumah Ki Sudagar bersama Ki Rangga, maka Ki Tumenggung Reksaniti pun berpesan kepada Wikan, “Wikan. Selama kau disini, oleh gurumu kau dititipkan kepadaku. Kau ingat, bahwa gurumu minta aku membimbingmu. Karena itu, kau harus menurut pesan-pesanku sebagaimana kau menurut pesan-pesan gurumu”

“Ya, Ki Tumenggung”

“Nah. Di rumah Ki Tangara, kau jangan hanyut oleh arus perasaanmu seandainya kau benar melihat kakak perempuan ada disini. Jika kau masih berniat untuk membersihkan namaku, kau jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan kericuhan. Tetapi kau terbawa oleh arus perasaanmu dan berbuat sesuatu yang tidak sewajarnya, maka kau benar-benar akan melumuri namaku dengan lumpur”

“Aku akan mengingatnya, Ki Tumenggung”

Demikianlah dengan jantung yang berdebaran, Wikan mengikut Ki Rangga pergi ke rumah Ki Tangara.

Namun ternyata bahwa halaman rumah Ki Tangara nampak gelap. Hanya ada sebuah lampu minyak di pendapa, sebuah lagi di serambi gandok sebelah kiri, dan sebuah lagi di serambi Gandok sebelah kanan.

Tetapi dalam kemuraman cahaya lampu itu terdengar suara gamelan bertalu-talu.

Ketika mereka berdua memasuki regol halaman, dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi, kekar serta Wajah yang seram, menghentikan mereka.

“Siapa?” bentak seorang diantara mereka.

Ki Rangga mendorong dahi orang yang bertanya itu sambil berkata, “Buka. matamu, he. Apakah kau tidak mengenal aku?”

“O, Ki Rangga” desis orang itu sambil tergeser selangkah surut. Namun kawannya yang seorang lagi bertanya, “Siapakah kawan Ki Rangga itu?”

“Ini bukan kawanku. Tetapi kemanakanku. Ia berada dalam tanggung jawabku”

Orang yang bertanya itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Rangga berkata pula, “Ia seorang penari. Aku ingin membuat tledek penari janggrung itu iri melihat tariannya”

Orang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Silahkan Ki Rangga”

“Apakah sudah banyak orang yang datang?”

“Sudah Ki Rangga. Nampaknya Ki Rangga hari ini datang agak lambat”

“Persetan kau”

Ki Rangga pun kemudian mengajak Wikan memasuki halaman yang samar-samar oleh cahaya lampu di pendapa dan serambi gandok itu.

“Di mana mereka bersuka-ria tanpa tatanan itu, Ki Rangga?” bertanya Wikan.

“Kau dengar suara gamelannya?”

“Ya”

“Di belakang. Di belakang rumah induk, masih terdapat sebuah bangunan joglo sebesar pendapa itu. Disanalah mereka menyelenggarakan keramaian sekedar untuk bersenang-senang itu”

Wikan rasa-rasanya menjadi tidak sabar lagi. Namun Ki Rangga pun kemudian berdesis, “Kita duduk di belakang saja. Bukankah kau sekedar ingin membuktikan, apakah Wiyati dan Wandan berada di sini?”

Wikan mengangguk, “Ingat pesan Ki Tumenggung. Jangan berbuat apa-apa jika kau tidak-ingin melumuri nama Ki Tumenggung Reksaniti dengan lumpur karena banyak orang yang tahu, bahwa kau tinggal di rumah Ki Tumenggung itu”

Sejenak kemudian mereka melewati longkangan samping. Dua orang petugas berjaga-jaga di longkangan itu. Tetapi ketika mereka melihat Ki Rangga, maka mereka justru mengangguk hormat.

“Ki Rangga ini agaknya sudah terbiasa berada ditempat ini sehingga nampaknya ia bebas keluar masuk”

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah memasuki halaman samping sebuah ruangan yang luas, mirip sebuah pendapa. Namun letaknya justru dibelakang bangunan induk rumah yang besar itu.

Di pendapa telah banyak orang yang duduk diatas tikar yang terbentang berkeliling. Sedangkan di tengah-tengah terdapat beberapa orang penari janggrung’ sedang menari bersama beberapa laki-laki yang ikut menari dengan kasarnya. Mereka seakan-akan telah melupakan unggah-ungguh dan tata krama. Mereka bahkan telah melupakan kedudukan mereka masing-masing.

Ki Rangga dengan diam-diam duduk di belakang deretan orang yang sudah menjadi agak mabuk karena kebanyakan minum tuak.

“Jaga perasaanmu, Wikan”

Wikan tidak menjawab.

Tetapi Wikan tidak melihat kakak perempuannya berada diantara para penari itu.

Ki Rangga yang agaknya mengetahui bahwa Wikan sedang memperhatikan beberapa orang perempuan yang menari tanpa mengenal malu itu pun menggamitnya sambil berkata, “Wikan. Kau lihat beberapa orang perempuan yang duduk diseberang para penari itu? Beberapa orang perempuan yang duduk diantara beberapa orang laki-laki yang sudah mulai mabuk, sehingga tidak mampu mengekang tingkah lakunya sendiri itu”

Wikan mengerutkan dahinya. Semula ia tidak melihat dalam keremangan cahaya lampu yang nampaknya memang disengaja itu, beberapa orang perempuan duduk bersama-sama dengan beberapa orang laki-laki dengan tingkah lakunya yang sangat tidak pantas.

Sejenak Wikan memperhatikan perempuan itu seorang demi seorang. Perempuan yang tertawa-tawa dengan tingkah laku yang dibuat-buat.

Jantung Wikan seakan-akan berhenti berdetak ketika ia melihat Wiyati memang ada diantara mereka.

Sejenak Wikan justru mematung. Namun kemudian Wikan itu pun bergeser setapak.

Dengan cepat Ki Rangga memegang lengannya sambil berkata, “Apa yang akan kau lakukan, Wikan”

“Aku akan menyeretnya keluar dari tempat terkutuk ini”

“Kau tidak dapat melakukannya sekarang”

“Aku tidak peduli”

“Kau akan melanggar pesan Ki Tumenggung Reksaniti.

“Tetapi ia saudaraku. Aku berhak melakukannya”

“Kau akan melupakan kebaikan Ki Tumenggung dengan melumuri wajahnya dengan lumpur yang paling kotor? Kau sampai hati mencampakkan Ki Tumenggung ke dalam kubangan yang paling pekat”

“Tetapi….”

“Apa yang harus dikatakan oleh Ki Tumenggung Reksaniti jika persoalan ini sampai kepada para pemimpin di Mataram. Bahwa salah seorang bawahan Ki Tumenggung yang akan ditempatkan di Prambanan telah mengamuk di tempat yang kotor ini? Wikan. Kau akan segera dicampakkan daripmencalonanmu. Itu tidak apa-apa, karena kau memang sudah melakukannya dengan sengaja. Tetapi Ki Tumenggung pun tentu akan disingkirkan pula. Tumenggung Darmakitri akan dikeluarkan dari penjara dan akan menduduki jabatan yang memang sangat diharapkannya itu”

Wikan menggeretakkan giginya. Tetapi apa yang dikatakan oleh Ki Rangga itu masih sempat didengarnya, sehingga apa pun yang bergejolak didadanya, Wikan berusaha untuk menahan diri.

Ki Rangga yang mengetahui, betapa Wikan menekan perasaannya itu pun berkata, “Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini sebelum jantungmu meledak”

Wikan tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bangkit berdiri.

Ki Rangga pun segera berdiri pula. Keduanya pun segera melangkah meninggalkan tempat itu.

Di longkangan kedua orang yang bertugas itu mengangguk hormat. Seorang diantara mereka bertanya, “Kenapa segera pergi Ki Rangga?”

“Edan. Uangku ketinggalan. Bagaimana aku dapat ikut ngibing tanpa membawa uang. Nanti aku akan kembali”

Para petugas itu tidak bertanya lebih jauh.

Demikian pula para petugas di pintu regol halaman. Mereka pun bertanya pula, kenapa Ki Rangga segera meninggalkan tempat itu.

Sebagaimana jawabnya kepada para petugas di longkangan, maka Ki Rangga pun menjawab pula, “Uangku ketinggalan. Tanpa uang aku tidak berarti apa-apa di tempat itu”

Sebenarnyalah bahwa Ki Rangga telah membawa Wikan kembali ke rumah Ki Tumenggung Reksaniti. Ternyata Ki Tumenggung masih belum tidur. Ia menjadi gelisah memikirkan Wikan yang dapat saja kehilangan kendali.

Ki Rangga dan Wikan itu telah ditemui oleh Ki Tumenggung di pringgitan. Ki Rangga pun segera menceriterakan apa yang telah mereka lihat di rumah Ki Tangara. Perempuan yang bernama Wiyati dan Wandan itu memang berada di tempat terkutuk itu.

“Ki Rangga sudah sering pergi ke tempat itu?” bertanya Ki Tumenggung.

“Tidak terlalu sering, Ki Tumenggung. Tetapi aku memang sekali-sekali pergi ke tempat ini”

“Terima kasih atas sikapmu, Wikan” berkata Ki Tumenggung, “Kau masih mampu menahan dirimu. Aku berjanji untuk memerintahkan seorang prajurit mengantarmu ke rumahnya esok. Ki Rangga akan dapat memberikan ancar-ancar di mana kakak perempuanmu itu tinggal”

“Sama sekali tidak di dekat alun-alun pungkuran” berkata Ki Rangga.

“Aku mohon maaf Ki Tumenggung” berkata Wikan kemudian, “besok aku mohon diri. Aku akan pulang”

“He?”

“Aku tidak pantas mengabdi kepada Ki Tumenggung Reksaniti. Kakak perempuanku adalah sosok yang pantas di lemparkan ke tempat sampah. Dengan demikian, jika aku berada disini. maka sampah itu akan memercik kepada Ki Tumenggung pula”

“Tidak. Wikan. Aku akan membantumu membawa kakak perempuamun itu pulang kapan saja kau mau”

“Tidak Ki Tumenggung. Aku minta maaf. Besok aku akan pulang. Aku akan mengurus kakak perempuanku itu atas nama keluargaku. Aku tidak ingin Ki Tumenggung terlibat dalam persoalan yang sangat memalukan ini”“

“Sebenarnya aku ingin memilahkan antara kau dan. kakak perempuanmu”

“Besok, jika segalanya sudah selesai, maka aku akan datang kembali”

“Aku ingin kau memegang salah satu tugas yang penting di Prambanan”

“Ampun Ki Tumenggung. Besok, jika aku sudah berhasil menjernihkan tatanan hidup keluargaku, aku akan datang menghadap Ki Tumenggung”

Ternyata Ki Tumenggung Reksaniti tidak dapat mencegah niat Wikan untuk pulang. Keberadaan kakak perempuannya di tempat yang terkutuk itu telah membuat nalarnya menjadi buram.

Ki Rangga tidak dapat berbuat apa-apa. Sebenarnyalah ia merasa menyesal, bahwa ia telah memberitahukan langsung kepada Wikan, apakah kerja kakak perempuannya di Kota Raja.

“Tidak, Ki Rangga. Aku justru berterima kasih kepada Ki Rangga, sehingga aku segera mengetahui tingkah laku kakak perempuanku itu. Dengan demikian aku akan segera mengambil langkah-langkah yang perlu”

“Kau akan mengatakan kepada ibumu?” bertanya Ki Tumenggung Reksaniti.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain”

“Ibumu akan sangat bersedih”

“Tetapi itu lebih baik daripada tertunda-tunda. Selama ini ibu berbangga terhadap mbokayu Wiyati. Setiap kali mbokayu mengirimkan sejumlah uang kepada ibu di rumah. Sehingga keadaan ibu menjadi cerah kembali sepeninggal ayah. Selain dari Yu Wuni. maka Yu Wiyati juga membuat ibu menjadi gembira. Ibu merasa bahwa kedua anak perempuannya sudah mapan dan hidup berkecukupan. Sementara aku dapat mengerjakan sawah yang ditinggalkan oleh ayah. Sawah yang cukup luas, sehingga hasilnya pun cukup memadai. Tetapi aku telah meninggalkan ibu untuk mengabdi kepada Mataram. Ibu juga berharap agar aku dapat menjadi seorang priyayi yang mempunyai hari depan lebih baik dari seorang petani. Aku pun berpengharapan pula, bahwa aku akan dapat lebih banyak mengamalkan ilmu yang telah aku pelajari di Mataram daripada di kampung halaman. Tetapi jiwaku telah terpukul oleh tingkah laku kakak perempuanku”

Niat Wikan untuk pulang esok pagi telah bulat. Ketika Ki Rangga minta diri, maka sekali lagi Wikan mengucapkan terima kasih kepadanya.

Di keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wikan sudah siap. Setelah minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, maka Wikan pun benar-benar meninggalkan rumah Ki Tumenggung Reksaniti.

“Pada satu kesempatan aku akan menghadap Ki Tumenggung lagi” berkata Wikan.

Ki Tumenggung menepuk bahunya sambil berkata, “Kau menyimpan kemampuan yang tinggi. Jangan kau sia-siakan. Dengan mengabdi kepada Mataram, maka kemampuanmu itu akan lebih berarti bagi banyak orang”

“Terima kasih atas kepercayaan Ki Tumenggung Reksaniti. Masih banyak kesempatan di hari-hari mendatang”

“Kau sebaiknya menghadap kepada gurumu. Mintalah pertimbangan kepadanya. Oleh gurumu kau dititipkan kepadaku”

“Baik. Ki Tumenggung”

Demikianlah, maka Wikan pun meninggalkan rumah Ki Tumenggung Reksaniti. Beberapa saat kemudian, Wikan pun telah meninggalkan pintu gerbang Kota Raja. Tempat yang menjanjikan banyak harapan kepada para pendatang. Tetapi juga tempat yang banyak menelan korban dari mereka yang lengah dan tidak berdaya menghadapi garangnya kehidupan serta godaan lahiriah.

Ketika ia meninggalkan rumah Ki Tumenggung, Wikan memang berniat untuk pergi menemui gurunya. Tetapi tiba-tiba ia merasa malu. Seperti ia merasa tidak pantas mengabdi di Mataram dan bertugas sebagai seorang pejabat di lingkungan tugas Ki Tumenggung Reksaniti, maka Wikan pun merasa tidak pantas menghadap gurunya dan mengatakan apa yang telah dilakukan oleh kakak perempuannya.

Di perjalanan Wikan tidak menemui banyak hambatan. Rasa-rasanya ia ingin terbang secepat burung srigunting agar ia segera sampai ke rumah.

Namun Wikan tidak dapat menghindari kenyataan, bahwa ia harus berhenti untuk memberi kesempatan kudanya beristirahat. Betapa pun keinginannya mendesak untuk segera sampai di rumah, namun Wikan pun telah berhenti di sebuah kedai. Kedai yang juga dapat memberikan makan dan minum bagi kudanya.

Wikan yang duduk di sudut kedai itu nampak gelisah. Ketika pelayan kedai itu kemudian menghidangkan minuman dan makan yang dipesannya, Wikan tidak sempat menghabiskannya.

Setelah kudanya cukup beristirahat, maka Wikan pun kemudian minta diri. Dibayarnya harga minuman dan makan bagi dirinya dan bagi kudanya. Ia masih saja nampak tergesa-gesa.

Ketika Wikan keluar dari pintu kedai, dituar sadarnya pundaknya telah menyentuh pundak seorang anak muda yang sedang memasuki kedai itu. Ketika Wikan menyadarinya, maka ia pun segera minta maaf.

“Agak tergesa-gesa Ki Sanak. Maaf. aku tidak sengaja”

Anak muda itu memandanginya dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Dua orang kawannya, tiba-tiba saja sudah berdiri di depan dan di belakangnya.

“Kau taruh dimana matamu, he?” geram anak muda yang tersentuh pundak Wikan itu.

“Aku minta maaf”

Anak muda yang berpakaian rapi itu tertawa. Kemudian katanya, “Berlutut di hadapanku jika kau minta maaf”

Jantung Wikan tergetar mendengar kata-kata itu. Tetapi ia masih menahan diri. Ia ingin segera meninggalkan tempat itu.

“Sungguh aku tidak sengaja, Ki Sanak. Aku tergesa-gesa. Ada persoalan keluarga yang harus segera aku selesaikan”

“Persetan dengan urusan keluargamu. Berjongkok, menyembah dan mohon ampun”

“Jangan begitu, Ki Sanak. Aku sudah minta maaf. Biarkan aku pergi”

“Jangan membantah. Apakah kau belum mengenal aku?”

“Belum Ki Sanak”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Pantas kau berani memandang wajahku. Dengar. Aku adalah anak seorang yang sangat berpengaruh di kademangan ini. Ayah adalah seorang yang sangat kaya. Hampir separo dari jumlah, sawah yang ada di kademangan ini adalah milik ayahku. Orang lain hanya bekerja upahan di sawah ayahku itu”

Wikan mengangguk-angguk. Tetapi ia mulai menjadi muak atas tingkah laku anak muda itu. Sementara itu anak muda itu pun berkata, “Karena itu, kau tidak dapat mengelak lagi. Berjongkok dan mohon ampun kepadaku”

Wikan tidak segera menjawab. Namun dua orang kawan anak muda itu yang berdiri di muka dan di belakang Wikan, bergeser semakin dekat. Wikan merasa tangan orang yang berdiri di belakangnya itu mulai menekan pundaknya.

Wikan menarik nafas panjang, seakan-akan ia ingin mengendapkan perasaannya yang mulai bergejolak.

Sebenarnya Wikan tidak ingin perjalanannya pulang itu terhambat. Tetapi nampaknya ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengelakkan perselisihan.

Wikan pun kemudian berpaling kepada pelayan dan pemilik kedai itu. Ia ingin pemilik kedai itu melerainya. Tetapi agaknya pemilik kedai itu hanya dapat diam mematung. Apalagi pelayan kedai itu. Bahkan orang-orang yang sudah berada didalam kedai itu pun sama sekali tidak berbuat apa-apa untuk melerai perselisihan yang timbul.

“Aku harus mengatasinya sendiri” berkata Wikan di dalam hatinya, “Namun peristiwa ini akan dapat menghambat perjalananku. Aku tidak tahu, seberapa tinggi ilmu anak-anak muda ini. Jika ilmu mereka cukup tinggi, maka aku memerlukan waktu yang lama untuk mengatasinya. Atau bahkan aku akan terkapar di halaman kedai ini. Pingsan atau bahkan mati”

Tetapi agaknya Wikan tidak mempunyai pilihan lain. Anak muda yang berdiri di belakangnya itu pun semakin menekan pundaknya.

“Berjongkok, menyembah dan mohon maaf” geram orang yang berdiri di belakangnya.

“Aku sudah minta maaf”

“Berjongkok, kau dengar. Apakah kau tuli?”

“Jangan memaksa, Ki Sanak. Hanya kepada Raja di Mataram kita harus menyembah, atau kepada para Adipati yang berkuasa di kadipaten-kadipaten. Tidak kepada orang-orang kaya yang mempunyai tanah hampir separo tanah se kademangan. Apalagi kepada anaknya”

“Gila kau monyet buruk” bentak orang yang berdiri di depan Wikan, “masih ada waktu bagimu untuk mohon ampun. Berjongkok, menyembah dan mohon ampun”

Sebenarnyalah bahwa hati Wikan sendiri sedang gelap. Karena itu, ia tidak dapat menyabarkan dirinya lagi. Sikap ketiga orang anak muda itu sudah keterlaluan baginya.

Karena itu, maka Wikan pun menggeram, “Minggir atau aku dorong kalian”

“Anak iblis” bentak orang yang disebut anak seorang pemilik tanah separo dari tanah kademangan itu, “Kau berani mengancam kami”

“Bukan salahku. Aku sudah minta maaf jika aku dianggap bersalah hanya karena aku menyentuh tubuhmu dengan pundakku tanpa aku sengaja”

Adalah di luar dugaan. Anak muda yang berdiri di depan Wikan itu pun tiba-tiba mengajunkan tinjunya mengarah ke perut Wikan.

Dengan gerak naluriah, Wikan menangkis pukulan itu. Namun kemudian hampir dituar sadarnya pula, Wikan mendorong anak muda yang berdiri di depannya itu.

Ternyata dorongan Wikan cukup kuat. Anak muda itu terpelanting dari tangga kedai dan jatuh terlentang di halaman.
Wikan tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus bergerak cepat untuk menghindari serangan orang yang berdiri di belakangnya serta anak muda yang mengaku anak pemilik tanah yang sangat luas itu.

Dengan cepat Wikan pun meloncat ke halaman, melangkahi orang yang jatuh terlentang dan berusaha untuk bangkit itu.

Kedua orang anak muda yang lain pun segera menyusulnya turun ke halaman. Dengan wajah yang merah anak muda yang mengaku anak pemilik tanah yang sangat luas itu pun menggeram, “Kau kira kau siapa, he. Hanya orang-orang gila yang berani menentangku. Tanah di sekitar pedukuhan ini adalah tanahku. Jika kau keluar dari padukuhan ini, kau akan melewati tanahku. Aku dapat berbuat apa saja diatas tanahku sendiri”

“Tetapi tanahmu ini terletak di dalam satu negeri yang mempunyai tatanan. Yang mempunyai paugeran. Ayahmu bukan seorang Kepala Tanah Perdikan. Bukan pula seorang Demang atau bahkan Bekel. Ayahmu adalah seorang yang kaya, yang mempergunakan kekayaannya untuk membeli kekuasaan. Namun kekuasaannya tidak akan dapat melampaui paugeran Bumi Mataram”

“Persetan dengan paugeran. Apa yang dikatakan oleh ayahku adalah paugeran disini”

“Tidak. Biarlah orang-orang yang terpercik toleh kekayaan ayahmu mengakuinya. Tetapi aku tidak”

Dalam pada itu, beberapa orang sudah mulai berkerumun. Mereka memang merasa heran, bahwa seseorang telah berani menentang anak seorang yang kaya raya, yang memiliki tanah hampir separo tanah kademangan. Bahkan Ki Demang sendiri tidak berani menentang kemauannya, karena dengan uangnya orang itu dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya.

“Anak muda itu tentu tidak tahu, dengan siapa ia berhadapan” desis seseorang.

Namun orang yang disebelahnya menyahut, “Tadi anak penguasa tanah itu sudah mengatakan tentang dirinya”

“Tetapi anak muda tentu asing disini, sehingga ia tidak mengetahui seberapa besar kuasanya”

Kawan bicaranya mengangguk-angguk.

Sementara itu, Wikan sudah siap untuk menghadapi ketiga orang anak muda yang memang belum dikenalnya itu. Karena Wikan belum mengenal tataran kemampuan mereka, maka. Wikan pun cukup berhati-hati.

Dalam pada itu, ketiga orang anak muda itu mulai bergerak. Orang yang terpelanting jatuh itu pun menggeram, “Aku akan membuatmu menjadi pangewan-ewan”

Wikan tidak menjawab. Tetapi ia mempersiapkan diri sebaiknya.

Ternyata ketiga orang anak muda itu pun segera memencar. Mereka menghadapi Wikan dari tiga arah yang berbeda.

“Hati-hatilah” berkata anak penguasa tanah itu, “Anak ini merasa memiliki bekal ilmu yang tinggi sehingga ia berani menantang kuasaku disini. Mungkin ia memang berbekal ilmu. Tetapi mungkin hanya mulutnya sajalah yang terlalu besar untuk menyombongkan diri”

“Jangan cemas” sahut seorang kawannya, “Aku akan menjerat lehernya dan menuntunnya seperti seekor kerbau keliling padukuhan ini”

Kawannya yang lain tertawa sambil berkata, “Kita jadikan anak ini ledek munyuk. Ia harus menari seperti seekor kera dengan iringan dua buah terbang”

Wikan sama sekali tidak menyahut. Tetapi hatinya yang sedang kalut itu menjadi semakin kalut.

Karena itu, maka Wikan tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika ketiga orang anak muda itu masih bergerak melingkarinya, maka tiba-tiba saja Wikan merendah dan menyapu kaki anak muda yang mengaku anak penguasa tanah itu.

Gerak Wikan yang tidak terduga itu tidak mampu dihindari oleh lawannya. Demikian kaki Wikan menyapu kakinya, maka ia pun segera jatuh terlentang.

Wikan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia sadar, bahwa anak muda itu adalah panutan dari kedua orang kawannya yang lain. Jika anak muda itu dapat ditundukkannya, maka yang lai pun akan segera tunduk pula.

Karena itu, maka dengan cepat Wikan berguling. Kakinya terangkat tinggi. Sejenak kemudian tumitnya pun telah mengenai dada anak muda itu.

Terdengar anak muda itu mengaduh. Namun ternyata Wikan tidak sempat menyerangnya lagi. Kedua orang kawannya telah berloncatan menyerang Wikan yang dengan cepat meloncat bangkit.

Wikan meloncat surut mengambil jarak. Namun kedua orang anak muda itu memburunya. Seorang diantara mereka melenting sambil memutar tubuhnya. Kakinya menebas mendatar mengarah ke kening..

Tetapi Wikan dengan cepat merendahkan kepalanya, sehingga kaki yang menyambar keningnya itu terayun tanpa menyentuhnya.

Dalam pada itu, yang seorang tidak tinggal diam. Tubuhnya bagaikan meluncur dengan derasnya. Kakinya terjulur menyamping mengarah ke punggung Wikan. Tetapi Wikan seakan-akan mempunyai mata di tengkuknya. Dengan cepat ia meloncat menghindari serangan itu. Bahkan demikian kaki anak muda yang tidak mengenai sasarannya itu menyentuh tanah, maka Wikan telah memutar tubuhnya sambil mengayunkan kakinya.

Demikian cepatnya, sehingga anak muda itu tidak sempat mengelakkannya ketika kaki itu menyambar dadanya.

Orang itu terdorong beberapa langkah. Kemudian jatuh berguling di tanah.

Anak muda itu berusaha untuk dengan cepat bangkit. Sehingga sejenak kemudian, ketiga orang anak muda itu pun telah siap mengelilingi Wikan untuk menyerang dari arah yang berbeda.

Namun ketiganya tidak lagi setegar pada saat perkelahian itu mulai. Anak penguasa tanah itu setiap kali harus meraba dadanya yang sakit serta nafasnya yang tertahan-tahan. Sementara itu, kawannya pun merasakan seakan-akan tulang-tulang iganya menjadi retak. Sedangkan yang seorang lagi lambungnya menjadi sangat nyeri. Bahkan terasa ia menjadi muak-muak seperti akan muntah.

“Anak iblis” geram anak muda yang merasa dirinya anak penguasa tanah yang kaya raya itu.

Wikan yang ingin segera pulang itu tidak memberi banyak waktu. Beberapa saat kemudian, perkelahian pun telah terjadi. Semakin lama semakin seru. Namun semakin nampak betapa ketiga orang anak muda yang berkelahi melawan Wikan itu mengalami kesulitan.

Dalam pada itu, selagi ketiga orang anak muda itu berkelahi, seorang yang melihatnya, telah berlari-lari ke rumah anak muda yang mengaku anak penguasa tanah itu. Ia ingin mendapat pujian atau bahkan hadiah beberapa keping uang.

Anak itu pun langsung memberitahukan kepada penguasa tanah itu, bahwa anaknya telah diserang oleh seorang anak muda yang tidak dikenal.

Dengan tergesa-gesa penguasa tanah itu pun memerintahkan dua orang pengawalnya terbaik untuk ikut bersamanya pergi ke kedai yang menurut laporan yang diterimanya, anaknya tengah mengalami kesulitan di tempat itu.

Dalam pada itu, perkelahian  pun tidak berlangsung terlalu lama. Wikan ingin segera pergi meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk menyelesaikan perkelahian itu secepatnya.

 Bersambung ke jilid 4

 -oo0dw0oo-

Karya : SH Mintardja

Sumber DJVU http ://gagakseta.wordpress.com/

Convert by : DewiKZ

Editor : Dino

Final Edit & Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/

http://ebook-dewikz.com/ http://kang-zusi.info

edit ulang untuk blog ini oleh Arema

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar